Fiqih
Hukum Beternak Cacing dan Semut Jepang
Pertanyaan: Ustadz, bolehkah beternak cacing dan semut Jepang menurut fiqih Islam? Kata kawan saya, cacing dan semut Jepang itu dapat digunakan untuk terapi alternatif berbagai penyakit. Ada juga yang memanfaatkannya untuk pakan ternak.
Jawaban oleh KH Imtihan Syafi’i (Dosen Mahad Aly An-Nuur, Sukoharjo)
Beternak cacing maupun semut Jepang (sebenarnya bukan semut, karena ciri semut tidak terdapat di dalamnya, sedang binatang yang disebut semut Jepang ini sebenarnya lebih mirip dengan kutu beras) untuk diperjualbelikan hukum asalnya adalah mubah/boleh. Sebab, umumnya cacing dan semut Jepang dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Demikian seperti yang dinyatakan oleh beberapa ulama kontemporer.
Sedangkan untuk kepentingan terapi alternatif, maka sebelum berbicara tentang boleh-tidaknya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu status kehalalannya. Jika kedua binatang ini halal, maka penggunaan keduanya untuk keperluan terapi alternatif pun tidak menjadi masalah, begitu juga dengan beternak dan memperjualbelikannya, juga tidak masalah, tentu setelah dilakukan penelitian klinis bahwa kedua binatang tersebut benar-benar memberi efek terapi, bukan semata-mata sugesti. Jika hal itu belum dilakukan, kita hendaknya mengkhawatirkan tersebarnya kebohongan, yakni mengiklankan terapi, padahal tidak demikian kenyataannya.
Kembali kepada status kehalalan dua binatang tersebut, para ulama berbeda pendapat. Para ulama mahzab Maliki menyatakan keduanya termasuk binatang yang tidak diharamkan. Dengan demikian, beternak dan memperjualbelikannya pun tidak menjadi masalah.
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa keduanya termasuk binatang yang diharamkan. Sebab, kedua binatang tersebut tidak termasuk ke dalam keluarga ikan atau belalang. Ingat, semua binatang yang tidak disembeli dan tidak dapat disembelih maka hukumnya haram kecuali ikan dan belalang.
Maka dari itu, beternak dan memperjualbelikan cacing dan semut Jepang untuk keperluan terapi alternatif pun menjadi tidak boleh. Hanya saja, para ulama mahzab Syafi’i membolehkan jika tidak ditemukan lagi obat lain yang jelas-jelas halal. Wallahu’alam bish shawwab
Sumber: Majalah Fikih Islam Hujjah, No. 04/Vol. I/ April 2015