Uncategorized

Hukum Memakan Ikan yang Diberi Makan dengan Bangkai Hewan di dalam Kolam Buatan

Pertanyaan:
Apakah boleh memakan ikan yang diberi makan dengan bangkai hewan, seperti bangkai ayam atau benda najis lainnya di dalam kolam buatan?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, di bawah pengawasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid

Alhamdulillah.

Kalau sebagian besar makanan yang diberikan kepada ikan tersebut adalah tidak najis, maka boleh memakan ikan tersebut dan tidak ada masalah dengannya.

Tetapi jika sebagian besarnya berasal dari benda najis (ikan seperti ini disebut oleh para ulama dengan jallaalah atau binatang yang memakan kotoran), maka tidak boleh untuk memakan ikan tersebut sampai ikan tersebut dikarantina dari memakan benda-benda najis selama tiga hari, dan diberi makan dengan makanan yang tidak najis sehingga daging ikan tersebut menjadi baik.

Dikatakan di dalam Kashshaaf Al-Qina (6/193):

Jallaalah, atau binatang yang sebagian besar makanannya adalah najis, adalah haram, termasuk susunya, karena ada suatu riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhum yang berkata:

نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن أكل الجلالة وألبانها

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang memakan jallaalah atau (meminum) susunya,” [HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmizi. Tirmidzi: Hasan Gharib. Al-Albani: Sahih, di dalam Al-Irwa: 2503]

“…..(haram) sampai binatang itu dikarantina selama tiga hari tiga malam, karena jika Ibnu Umar ingin memakan (binatang seperti itu), beliau akan mengkarantinanya selama tiga hari dan memberinya makan dengan makanan yang suci, dan menjauhkannya dari memakan barang-barang najis, baik itu burung atau binatang lainnya, karena faktor yang menghalanginya menjadi halal akan hilang dengan cara demikian.”

Akhir kutipan

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

Susu binatang jallaalah yang memakan barang-barang najis adalah dilarang oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم, tetapi jika didiamkan sampai menjadi suci, maka ia menjadi halal menurut ijma ulama, karena sebelum dikarantina, sisa-sisa najis akan tampak pada susunya, telur dan keringatnya, serta kotoran dan bau amis dari benda najis tersebut akan terlihat. Tetapi setelah itu semua hilang, maka ia menjadi suci. Kalau suatu hukum berlaku karena suatu alasan, hukum itu berhenti setelah alasan itu tadi sudah tiada.”

BACA JUGA:  Press Release: Pernyataan Sikap Dewan Syariah Kota Surakarta

Akhir kutipan dari Majmoo‘ al-Fataawa: 21/618. 

Lajnah Daimah pernah ditanya:

Mereka memberi makan ayam-ayam mereka dengan berbagai makanan, termasuk daging giling dari binatang yang disembelih dengan cara yang tidak benar, dan daging babi juga. Apakan ayam-ayam tersebut yang diberi makan dengan daging seperti ini halal atau haram? Kalau haram, bagaimana hukumnya dengan telurnya?

Jawaban dari Lajnah Daimah:

Kalau yang dikatakan tentang makanan binatang tersebut adalah benar, maka ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang memakan daging dan telurnya.

Malik dan banyak ulama lainnya mengatakan bahwa memakan daging dan telurnya adalah boleh, karena makanan (hewan) yang najis menjadi suci ketika diubah menjadi daging dan telur (istilahnya istihaalah).

Tetapi banyak ulama, termasuk Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa haram hukumnya memakan daging dan telurnya, atau meminum susu (dari hewan dengan kriteria yang sama-sama jallaalah), kecuali binatang tadi dikasih makan dengan makanan yang suci setelah tiga hari atau lebih, yang dalam hal ini binatang itu akan menjadi boleh untuk dimakan dagingnya, telurnya dan susunya.

Dan dikatakan bahwa jika sebagian besar makanannya adalah najis, maka binatang itu dikelompokkan sebagai jallaalah dan tidak boleh dimakan, tetapi jika sebagian besar makanannya adalah tidak najis, maka boleh dimakan.

Banyak ulama yang mengatakan bahwa binatang jallaalah adalah haram, karena riwayat Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang memakan jallaalah atau meminum susunya.

Jallaalah adalah hewan apa saja yang memakan kotoran atau benda-benda najis lainnya. Tetapi pendapat yang paling benar adalah yang mengatakan bahwa ini semua tergantung, dan ini ada di pendapat kedua sebagaimana dikutip di atas.

Akhir kutipan dari Fataawa al-Lajnah ad-Daa’imah: 23/377 

Meskipun ikan-ikan itu sudah dikarantina dari benda-benda najis selama tiga hari atau lebih, tetapi kalau nyata-nyata memakan ikan tersebut bisa membahayakan orang yang memakannya (berdampak buruk bagi kesehatan) maka tidak boleh memakannya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

BACA JUGA:  (MP3 Ceramah/Kajian) Tiga Jenis Taqlid Yang Membuat Sulit Menerima Kebenaran

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kau jatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan,” [QS Al-Baqarah: 195]

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh berbuat madlarat dan menimbulkan madlarat,” [HR Ibnu Majah: 2431. Al-Albani: Sahih, di dalam Al-Irwa: 896]

Wallahualam bish shawwab

CATATAN PENTING:
1. Fatwa ini TIDAK BISA dijadikan dalil oleh para peternak untuk memberi makan hewan ternaknya dengan makanan yang najis. HARUS mencari makanan yg tidak najis.

2. Jika hewan ternak sering memakan makanan yang najis, lalu daging hewan ternak menjadi gemuk karena memakan banyak najis, apakah cukup dengan mendiamkan 3 hari? Itulah kenapa di fatwa di atas ada penekanan sebagian besar makanannya harus suci.

Selain itu, kalau selama tiga hari bekas najis pada daging ikan belum hilang, karantina harus terus dilakukan lebih lama, sampai bekas najis pada daging benar-benar hilang.

3. Jika menggunakan pendapaat “didiamkan tiga hari,” orang yang berpendapat demikian ternyata menambahkan syarat lain, yaitu; “tidak berbahaya atau tidak merusak kesehatan” meski telah didiamkan tiga hari lebih.

Fatwa No: 170264
Tanggal: 17 Oktober 2011
Sumber: IslamQA

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button