Uncategorized

Hukum Menjamak Shalat Jumat dengan Shalat Ashar

Keterangan Foto: Presiden Joko Widodo beserta rombongan menjamak Shalat Jumat dengan Shalat Ashar.

Pertanyaan:
Saya sedang bepergian dan di jalan saya berhenti di suatu desa dan shalat Jumat dengan penduduk lokal. Setelah shalat, saya berdiri dan hendak shalat ashar. Lalu salah seorang teman melarang saya untuk Menjamak shalat Ashar setelah Shalat Jumat. Dia berkata bahwa Menjamak shalat Jumat dengan Shalat Ashar adalah tidak boleh. Bagaimana hukumnya?

Jawaban oleh Tim Fatwa IslamQA, di bawah pengawasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid.

Alhamdulillah.

Apa yang teman Anda katakan adalah benar. Shalat Jumat tidak boleh dijamak dengan Shalat Ashar. Yang dijelaskan di dalam Syariat adalah Shalat Zhuhur boleh dijamak dengan Shalat Ashar, dan begitu pula dengan Shalat Maghrib dan Shalat Isya.

Berdasarkan hal ini, Anda harus mengulang Shalat Ashar yang Anda jamak dengan Shalat Jumat, karena Anda melakukan shalat Ashar sebelum waktunya, dan shalat yang dilakukan sebelum waktunya adalah tidak sah.

Syekh Utsaimin menjelaskan hukum Menjamak Shalat Jumat dengan Shalat Ashar sebagai berikut:

Tidak boleh menjama (menggabungkan) shalat Ashar dengan shalat Jum’at ketika diperbolehkan menjama antara shalat Ashar dan Dzuhur (karena ada alasan syar’i, seperti perjalanan,-red). Jika seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh melintasi suatu daerah, lalu dia melakukan shalat Jum’at bersama kaum muslimin disana, maka (dia) tidak boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at.

Jika hujan turun dan boleh Menjamak Zuhur dengan Ashar karena hujan, maka tetap tidak boleh Menjamak Shalat Jumat dengan Shalat Ashar.

Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga diperbolehkan untuk menjama shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan mengerjakan shalat Jum’at, maka dia tidak boleh menjama shalat Ashar dengan shalat Jum’at.

Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [An-Nisaa : 103]

Maksudnya, (ialah) sudah ditentukan waktunya. Sebagian dari waktu-waktu ini sudah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara global dalam firmanNya.

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

BACA JUGA:  Nggak Usah Pusing dengan Omongan Manusia?

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)” [Al-Israa : 78]

Maksud kata ‘duluukusy syamsi’ (pada ayat di atas) ialah, tergelincirnya matahari ke arah barat. ‘ghasaqil lail’, maksudnya ialah gelapnya malam, yakni pertengahan malam.

Waktu-waktu itu mencakup empat shalat, yaitu : shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Shalat-shalat ini terkumpul dalam satu rangkaian waktu, karena tidak ada pemisah di antara satu waktu ke waktu yang berikutnya. Ketika waktu salah satu shalat sudah habis, maka masuk waktu shalat berikutnya. Dan waktu shalat Shubuh terpisah, karena waktu shalat Isya tidak tersambung dengan waktu shalat Shubuh, serta waktu Shubuh tidak bersambung dengan waktu Dzuhur.

Tentang waktu-waktu shalat sudah dijelaskan secara terperinci oleh Sunnah di dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dan dari Jabir serta yang lainnya, yaitu :

1. Waktu shalat Dzuhur mulai dari tergelincirnya matahari sampai ketika bayangan sebuah benda sama panjang dengan aslinya

2. Waktu shalat Ashar mulai dari ketika bayangan sebuah benda sama panjang dengan aslinya sampai tenggelam matahari. Akan tetapi, waktu ketika matahari telah menguning adalah waktu darurat

3. Waktu shalat Maghrib mulai dari tenggelam matahari sampai hilangnya warna kemerahan dari ufuk sebelah barat

4. Waktu shalat Isya mulai dari hilangnya warna kemerahan dari ufuk sebelah barat sampai pertengahan malam

5. Waktu shalat Shubuh mulai dari terbit fajar sampai terbit matahari

Inilah aturan-aturan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu-waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat sebelum waktu yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia mendapatkan dosa dan shalatnya tertolak. Begitu juga orang yang mengerjakannya setelah waktunya lewat tanpa udzur syar’i.

Demikian inilah yang dituntut oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan uraian ini, maka orang yang menjama’ shalat Ashar dengan shalat Jum’at, berarti dia mengerjakan shalat Ashar sebelum waktunya, yaitu ketika bayangan sebuah benda sama panjang dengan aslinya, sehingga shalatnya batal dan tertolak serta wajib diganti.

Jika ada yang mengatakan, apakah tidak boleh mengqiyaskan jama shalat Ashar ke Jum’at dengan menjama shalat Ashar ke Dzuhur?

BACA JUGA:  Husnuzon, Kunci Pengamalan "Fatwa" Hormatilah Orang-orang yang tidak sedang Berpuasa

Jawabnya adalah tidak boleh, karena beberapa sebab:

1. Tidak ada qiyas dalam masalah ibadah

2. Shalat Jum’at merupakan shalat tersendiri, memiliki lebih dari 20 hukum (ketentuan-ketentuan) tersendiri yang berbeda dengan shalat Dzuhur. Perbedaan seperti ini menyebabkannya tidak bisa disamakan (diqiyaskan) ke shalat yang lainnya.

3. Qiyas seperti (dalam pertanyaan diatas, -pent) ini bertentangan dengan dhahir sunnah. Dalam shahih Muslim, dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama Maghrib dengan Isya di Madinah dalam kondisi aman dan tidak hujan.

Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga turun hujan yang menimbulkan kesulitan, akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjama shalat Ashar dengan Jum’at, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta hujan pada hari Jum’at saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar. Sebelum beliau turun dari mimbar, hujan turun dan mengalir dari jenggotnya. Ini tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh hujan yang bisa dijadikan alasan untuk menjama shalat, seandainya boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at. Sahabat Anas bin Malik mengatakan, pada hari Jum’at berikutnya, seseorang datang dan berkata : “Wahai, Rasulullah. Harta benda sudah tenggelam dan bangunan hancur, maka berdo’alah kepada Allah agar memberhentikan hujan dari kami”.

Kondisi seperti ini, (tentunya) memperbolehkan untuk menjama, jika seandainya boleh menjama ‘ shalat Ashar dengan shalat Jum’at.

Jika ada yang mengatakan “Mana dalil yang melarang menjama shalat Ashar dengan shalat Dzuhur?”

Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah terlarang, kecuali ada dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib atau sunat, -pent). Maka orang yang melarang pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk mendatangkan dalil. Akan tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang melakukan ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari orang-orang yang beribadah kepadanya tanpa dasar syar’i.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syuura : 21]

BACA JUGA:  Hukum Ibadah Haji dan Umrah

Dan firmanNya.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” [Al-Maidah : 3]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ

Barangsiapa yang melakukan satu perbuatan yang tidak berdasarkan din ini, maka amalan itu tertolak.

Berdasarkan ini, jika ada yang menanyakan, “Mana dalil larangan menjama shalat Ashar dengan shalat Jum’at?”

(Maka) kita balik bertanya:

“Mana dalil yang memperbolehkannya?

Karena hukum asal shalat Ashar dikerjakan pada waktunya. Ketika ada faktor yang memperbolehkan untuk menjama shalat Ashar, hukum asal ini bisa diselisihi, (maka yang) selain itu tetap pada hukum asalnya, yaitu tidak boleh diajukan dari waktunya.

Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana pendapatmu jika dia berniat shalat Dzuhur ketika shalat Jum’at agar bisa menjama?”

Jawab, jika seorang imam shalat Jum’at di suatu daerah, berniat shalat Dzuhur dengan shalat Jum’atnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal. Karena bagi mereka, shalat Jum’at itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jum’at ke shalat Dzuhur, berarti mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang tidak diperintahkan, sehingga berdasarkan hadits di atas, (maka) amalnya batal dan tertolak.

Sedangkan jika yang berniat melaksanakan shalat Jum’at dengan niat Dzuhur adalah –seorang musafir (misalnya) yang bermakmum kepada orang yang wajib melaksanakannya, maka perbuatan musafir ini juga tidak sah. Karena, ketika dia menghadiri shalat Jum’at, berarti dia wajib melakukannya. Orang yang terkena kewajiban shalat Jum’at namun dia melaksanakan shalat Dzuhur sebelum imam salam dari shalat Jum’at, maka shalat Dzuhurnya tidak sah.

Demikianlah penyusun kitab Al-Muntaha dan kitab Al-Iqna menuliskan, bahwa tidak boleh menggabungkan Ashar dengan shalat Jum’at. Kedua penyusun kitab ini menyebutkannya di awal bab tentang shalat Jum’at.

Saya jelaskan secara panjang lebar, karena hal ini dibutuhkan. Semoga Allah membimbing kita kepada kebenaran, memberikan manfaat, sesungguhnya Allah Maha Dermawan.

Majmoo’ Fataawa Ibn ‘Uthaymeen, 15/371-375.

Fatwa No: 26198
Tanggal: 16 Juni 2010
Sumber: IslamQA
Penerjemah: Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo )

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button