Sahihul Adab: Adab kepada Orang Tua
Pembaca rahimakumullah, artikel berjudul Adab kepada Orang Tua ini adalah terjemahan dan penjelasan dari kitab Sahihul Adab Al-Islamiyah karya Syaikhuna Wahid Abdussalam Bali hafizahullah. Teruskan membaca. Semoga bermanfaat.
Berterima Kasih kepada Kedua Orang Tua
Allah ﷺ berfirman:
Latin: wa waṣṣainal-insāna biwālidaīh, ḥamalat-hu ummuhụ wahnan ‘alā wahniw wa fiṣāluhụ fī ‘āmaini anisykur lī wa liwālidaīk, ilayyal-maṣīr
Arti: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu, (QS Luqman: 14).
PELAJARAN
1 – Allah lebih menyayangi orang tua daripada anak dari orang tua tersebut, karena Allah mewasiatkan kepada anak untuk berbuat baik kepada orang tua, (Tafsir Muharar);
2 – Penyebutan ibu yang diikuti dengan sosok yang telah mengandung dan menyusui dua tahun, ini menunjukkan bahwa bakti seorang anak kepada ibu tiga kali lebih banyak daripada ayah, persis seperti hadis nabi ﷺ ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu, (Idem);
3 – Ayat ini menunjukkan besarnya hak orang tua, (Idem);
4 – Allah berwasiat kepada kita (hamba) supay berbuat baik kepada orang tua. Ingat, wasiat adalah sesuatu yang dipercayakan, diamanatkan, kepada seseorang karena sesuatu yang diamanatkan itu bersifat sangat penting, (Idem);
5 – Bersyukur kepada kedua orang tua adalah dengan berbuat baik kepada keduanya, dengan perkataan dan perbuatan, (Idem).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad dengan Sanad yang sahih dari Said bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu yang berkata:
Aku mendengar ayah saya berkata bahwa Ibnu Umar melihat seorang pria asal Yaman yang melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah sambil menggendong ibunya sembari berkata:
“Saya adalah untamu yang rendah. Jika untamu ini patah tulang punggungnya, maka aku akan tetap melayanimu.”
Kemudian pria tadi bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah menurut Anda saya sudah membayar jasa-jasa ibu saya?”
“Tidak. Meski hanya sekadar rintihan sakit ibumu ketika melahirkanmu, kamu tidak bisa membayarnya.”
Kemudian Ibnu Umar melanjutkan tawafnya dan datang ke Maqam Ibrahim untuk salat dua rekaat. Setelah itu beliau berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa, setiap dua rekaat yang kamu lakukan adalah penghapus (kafarah, pengganti) atas apa yang telah terjadi kepada keduanya.”
PELAJARAN
1 – Wajibnya bersyukur kepada Allah, (Al-La-ali al-Bahiyyatu);
2 – Wajibnya berterima kasih kepada orang tua, (Idem);
3 – Durasi menyusui adalah dua tahun, (Idem);
4 – Sekeras apa pun seorang anak berupaya berbakti kepada ibunya, dia tidak akan pernah bisa membalas kebaikan ibunya, (Idem).
Berkata Lembut dan Beradab kepada Orang Tua
Allah ta’ala berfirman:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik, (QS Al-Isra: 23).
PELAJARAN:
1 – Allah memerintahkan tauhid, (Tafsir Muharar);
2 – Setelah memerintahkan tauhid, Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan kepada orang tua, (Idem);
3 – Lalu perintah berbuat baik kepada orang tua didetailkan dengan merawat keduanya, (Idem);
4 – Larangan mengucapkan sesuatu yang menyakiti orang tua, (Idem);
5 – Perkataan yang baik maksudnya mendiakan keduanya dan menyayangi mereka, (Idem).
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Adabul Mufrad dengan sanad yang sahih dari Thaisalah bin Muyas yang mengatakan bahwa Ibnu Umar berkata:
“Demi Allah, kalau kamu berkata yang sopan kepada ibumu, kemudian memberi makan ibumu, maka kamu akan masuk surga asalkan kamu menjauhi dosa-dosa besar.”
PELAJARAN
1 – Sabda Nabi (أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ) maksudnya lembut dalam berbicara kepada orang tua, serta tidak kasar, (Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah: 122755);
2 – Wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, (Al-La-laali Al-Bahiyyatu);
3 – Wajibnya berbuat ihsan kepada kedua orang tua, serta beradab kepada mereka ketika berbicara, (Idem);
4 – Haram menggerutu, mengeluh, mengomel kepada/tentang orang tua, (Idem);
5 – Di antara sebab masuk surga adalah berkata yang sopan dan memberi makan orang tua, (Idem);
6 – Peringatan supaya tidak melakukan dosa-dosa besar, (Idem).
Tidak Pergi kecuali dengan Seizin Orang Tua
Di dalam sahihain, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahuanhuma beliau berkata:
“Datang seseorang kepada Nabi ﷺ kemudian meminta izin untuk berjihad.”
Lalu Rasul bertanya:
“Orang tuamu masih hidup?”
Pria itu menjawab iya. Maka Rasul bersabda:
“Maka pada keduanyalah hendaknya engkau berjihad, yaitu bersungguh-sungguh dalam berbakti kepadanya,” (Sahih Bukhari: 3004).
Imam Muslim meriwayatkan di dalam Sahihnya dari Abdillah bin Amr bin Ash Radhiyallahu Anhuma yang mengatakan bahwa seseorang datang kepada Nabi Allah ﷺkemudian berkata:
“Saya berbaiat atau sumpah setia kepada Anda (Rasulullah ﷺ) bahwa saya akan siap untuk ikut hijrah dan jihad dengan mengharap pahala dari Allah.”
Kemudian Rasulullah ﷺbertanya:
“Apakah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?”
Pria itu menjawab, “Iya, ya Rasulullah. Bahkan keduanya masih hidup.”
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apakah kamu menginginkan pahala dari Allah?” “Iya!” jawab pria tersebut. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kalau begitu, pulanglah kepada kedua orang tuamu. Kemudian berbaktilah pada keduanya dengan sebaik-baiknya,” (Sahih Muslim: 2549).
PELAJARAN
1 – Sabda Nabi (فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ) masudnya adalah lakukan segala daya dan upaya (asalkan halal) untuk membuat orang tua senang dan merasa dihormati, maka kamu akan mendapat pahala jihad di jalan Allah, (Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah: 16020);
2 – Anjuran untuk berbakti kepada kedua orang tua, (Idem);
3 – Jihad mencakup berbagai macam amal ketaatan, (Idem);
4 – Didahulukannya berbakti kepada orang tua daripada jihad yang bersifat fardu kifayah, (Al-La-ali Al-Bahiyyatu);
5 – Seorang anak tidak boleh melakukan safar kecuali atas izin orang tuanya, kecuali dalam keadaan darurat, (Idem);
6 – Perintah untuk ikhlas, (Idem);
7 – Bolehnya mengutarakan sesuatu yang maknanya berkebalikan dari lafaznya, asalkan maksudnya diketahui, (Idem).
Tidak Melawan, tidak Berteriak kepada Orang Tua
Imam At-Tirmizi meriwayatkan secara hasan dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu dari Nabiallah ﷺyang bersabda:
“Tiga doa yang mustajab, tidak diragukan lagi kemustajabannya: 1) Doa orang yang terzalimi, 2) doa orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk maksiat, 3) Doa orang tua untuk anaknya,” (Sunan At-Tirmizi: 1905. Al-Albani: Hasan).
Di dalam Ash-Shahihain dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Ada seorang laki-laki Bani Isra’il, yang dipanggil dengan nama Juraij, sedang melaksanakan shalat lalu ibunya datang memanggilnya, namun laki-laki itu enggan menjawabnya. Dia berkata: ‘Apakah aku penuhi panggilannya atau aku teruskan shalat?’ Akhirnya ibunya itu mendekatinya seraya berkata: ‘Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia kecuali setelah dia memperoleh ujian.’ Suatu hari Juraij sedang berada di biaranya lalu ada seorang wanita berkata: ‘Aku akan goda si Juraij.’ Lalu wanita ini menawarkan dirinya tapi Juraij menolaknya. Kemudian wanita ini mendatangi seorang penggembala lalu wanita ini tinggal bersamanya hingga melahirkan seorang bayi. Lalu wanita itu berkata: ‘Ini anaknya Juraij.’ Maka orang-orang mendatangi Juraij dan menghancurkan biaranya dan memaksanya keluar lalu memaki-makinya. Juraij berwudhu’ lalu shalat. Kemudian dia mendatangi bayi lalu bertanya: ‘Siapakah bapakmu wahai anak?’ Bayi itu menjawab: ‘Seorang penggembala.’ Orang-orang berkata: ‘Kami akan bangun biaramu terbuat dari emas.’ Juraij berkata: ‘Tidak, dari tanah saja,” (Sahih Bukhari: 2842 dan Sahih Muslim: 2550).
PELAJARAN
1 – Sabda Nabi (وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ) adalah doa orang tua untuk keburukan anaknya, karena sang anak durhaka kepada mereka, atau menzalimi mereka, tidak menghormati mereka, juga apabila sang anak tidak memberikan hak orang tuanya karena lebih mementingkan hak anaknya, (Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah: 70620);
2 – Larangan zalim dan durhaka kepada orang tua atau orang lain, (Idem);
3 – Anjuran memperbanyak doa ketika safar untuk hal yang mubah, (Al-La-ali al-Bahiyyatu);
4 – Berbakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada ibadah sunah, (Idem);
5 – Anjuran untuk bersikap zuhud, (Idem).
Berkhidmat atau Melayani Orang Tua
Imam An-Nasai meriwayatkan dengan sanad hasan dari Muawiyah bin Jahimah Al-Salami bahwa Jahimah datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya ingin berperang dan datang untuk minta petunjukmu.”
Kemudian Rasul bertanya, “Apa kamu masih punya ibu?” Dia menjawab iya. Maka Rasulullah ﷺbersabda:
“Jagalah ibumu, karena surga itu di bawah kaki ibumu,” (HR An-Nasai: 3104).
PELAJARAN
1 – Sabda Nabi (فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا) maksudnya berkomitmen untuk melayani beliau, bergaul dengan beliau dengan cara yang paling baik, serta berbakti kepada beliau, (Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah: 32433);
2 – Sabda Nabi (فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا) maksudnya adalah bahwa bakti dan kebaikan Anda kepada ibu akan menjadi sebab bagi Anda untuk masuk surga, (Idem);
3 – Masuk surga bergantung pada rida ibu, (Idem);
4 – Rida orang tua adalah jalan menuju rida Allah, (Idem);
5 – Penegasan tentang iman kepada adanya surga, (Al-La-ali al-Bahiyyatu);
6 – Penetapan kaidah Aulawiyat (mana yang harus didahulukan di antara dua amal), (Idem).
Mendoakan Keduanya jika sudah Meninggal dan Memintakan Ampun untuk Keduanya
Allah ta’ala berfirman:
wa qur rabbir-ḥam-humā kamā rabbayānī ṣagīrā
“Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil,” (QS Al-Isra: 24).
PELAJARAN
1 – Wajib seorang anak mendoakan orang tuanya dengan ampunan dan Rahmat Allah, (Aisarut Tafasir).
2 – Semakin besar pendidikan dan upaya dari orang tua dalam membesarkan anaknya, semakin besar pula hak orang tua dari anaknya, (Tafsir As-Sa’di).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya,” (Sahih Muslim: 1631).
PELAJARAN
1 – Sabda Nabi (انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ) atau yang berarti terputuslah segala amalnya, maksudnya:
Terputuslah amalnya di dunia, sehingga dia tidak bisa menambah amal. Jika dia orang baik, maka dia mendapat kebaikan. Tetapi jika dia orang yg buruk, tidak ada tempat baginya untuk beramal dan bertaubat setelah kematian, (Mausuatul Haditsiyah Dorar Saniyah: 63901).
2 – Sabda Nabi yang berarti anak saleh yang selalu mendoakannya, maksudnya:
Bagi orang tua, mereka mendapat pahala dari amal anaknya yang saleh, entah si anak mendoakan mereka atau tidak. Seperti seseorang yang menanam tanaman, dia dibalas dengan memakan buahnya, entah yang makan tadi mendoakannya atau tidak, (Idem).
Bersedekah atas Nama Keduanya setelah Keduanya Meninggal
Di dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu Anhuma bahwa seseorang datang kepada Nabi ﷺ:
Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bersedekah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya (atas namanya)?”
Rasul menjawab, “Iya.”
Menyambung Hubungan dengan Saudara atau Sahabat Orang Tua yang Muslim setelah Orang Tuanya Meninggal
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar Radhiyallahuanhuma bahwa Rasul ﷺbersabda:
“Di antara bakti seseorang yang paling baik kepada orang tuanya adalah menyambung tali keluarga karib orang tuanya setelah orang tuanya meninggal dunia,” (Sahih Muslim: 2552).
Menziarahi Kuburan Kedua Orang Tua Setelah Keduanya Meninggal
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ menziarahi kubur ibunya kemudian menangis sehingga orang yang berada di sekelilingnya pun ikut menangis. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda:
“Saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun tidak diperkenankan oleh-Nya, dan saya meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu diperkenankan oleh-Nya. Karena itu, berziarahlah kubur karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian,” (Sahih Muslim: 976).
Tidak Memanggil Ayah atau Ibu dengan Namanya
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Adabul Mufrad dengan sanad sahih secara mauquf bahwa:
Abu Hurairah melihat dua orang dan berkata kepada salah satunya, “Siapa ini, apa hubungannya dengan Anda?” “Beliau adalah ayah saya,” jawab orang tersebut. Abu Hurairah lalu berkata, “Jangan memanggil beliau dengan nama beliau, jangan berjalan di depan beliau. Jangan duduk di depan beliau,” (Adabul Mufrad: 44).
Tidak Boleh Menasabkan kepada selain Orang Tuanya yang Asli
Di dalam Sahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu dari Nabi ﷺ yang bersabda:
“Janganlah kalian membenci ayah-ayah kalian, sebab siapa saja yang membenci ayahnya adalah kekufuran,” (Sahih Bukhar: 6768).
Di dalam Sahihain, dari Said bin Abi Waqas Radhiyallahuanhu yang mengatakan bahwa dirinya mendengar Nabi ﷺbersabda:
“Siapa yang mengaku kepada selain ayahnya (mengklaim orang yang bukan ayahnya sebagai ayah) padahal dia sadar akan kesalahan itu, maka surga haram baginya,” (Sahih Bukhari: 4326).
Tidak Menjadi Penyebab Orang Lain Menghina Orang Tua Kita
Di dalam Sahihain dari Abdullah bin Amr Radhiyallahuanhuma yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Sesungguhnya termasuk dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri,”
Lalu Rasul ditanya, “Kenapa bisa terjadi wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
“Seseorang melakna ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas dengan melaknat mencelat ayah dan ibu orang yang pertama tadi,” (Sahih Bukhari: 5973).