Pembaca yang semoga dirahmati Allah, Allah memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik kepada istri sebagaimana tersebut di dalam penggalan ayat yang terdapat di dalam buku nikah, wa āsyirūhunna bil ma’rūf. Apa yang dimaksud mu’asyarah bil ma’rūf?
STATUS WANITA SEBELUM ISLAM
Pembaca yang budiman, di masa jahiliah, wanita dianggap sebagai properti, benda, atau harta benda yang bisa diwariskan kepada seseorang apabila suaminya meninggal.
Ketika menjelaskan firman Allah ta’ala:
Arti: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita (menjadikannya seperti barang warisan) dengan pemaksaan,” (QS An-Nisa: 19).
Imam As-Suyuti berkata:
Dulu di zaman jahiliah, para wanita diwariskan kepada kerabat-kerabat suaminya (apabila suaminya meninggal dunia).
Ada 4 skenario mewarisi para wanita ini:
- Jika ahli waris itu mau, dia akan menikahi wanita tersebut tanpa mahar.
- Mereka menikahinya, lalu mengambil mahar dari suaminya (yang sudah mati)
- Melarang mereka menikah, sampai mereka menebus dirinya sendiri dengan mahar dari mantan suaminya.
- Membiarkan mereka mati, agar harta mereka bisa dikuasai (dimiliki), (Tafsir Jalalain).
Jahat sekali, bukan? Nah, tradisi ini terus berlangsung hingga Islam datang di masa-masa awal, lalu kemudian dihapus dengan ayat 19 Qur’an Surat An-Nisa. Seperti itulah status wanita sebelum datang Islam.
TAFSIR MU’ASYARAH BIL MA’RŪF
Pembaca rahimakumullah, Islam datang dengan memuliakan status wanita. Allah berfirman, dan inilah yang akan menjadi fokus pembahasan kita kali ini:
Arti: “Pergaulilah mereka secara baik,” (QS An-Nisa: 19).
DEFINISI MU’ASYARAH DAN MA’RŪF
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang definisi Mu’asyarah:
Maknanya adalah suami yang bersahabat, bermuamalah, dan bergaul dengan cara yang makruf. Lalu apa itu makruf?
Ma’ruf di sini maksudnya sesuai dan ditentukan di dalam syariat, bukan adat (yang bertentangan dengan syariat). Jadi, ma’ruf adalah apa yang ditetapkan di dalam syariat. Jika syariat menetapkan sesuatu, maka itu ma’ruf, dan jika syariat mengingkari sesuatu, maka itu adalah kemungkaran, meskipun manusia menjadikannya adat, (Syarah Riyadhus Shalihin li ibni Utsaimin: 4/144).
MAKNA MUASYARAH BIN MA’RUF
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini:
Perbaguslah perkataan kalian kepada mereka, perbaguslah perbuatan kalian kepada mereka, sesuai kemampuan kalian, sebagaimana kalian suka mereka berbuat baik kepada kalian, hendaknya kalian juga berbuat baik kepada mereka, (Tafsir Ibnu Katsir).
SEBAB KETENANGAN JIWA DAN KEBAHAGIAAN HIDUP
Tidak bisa dipungkiri, suami yang memusuhi istri, atau istri yang memusuhi suami, ini adalah sebab kesempitan hidup. Maka sebaliknya, akur dengan istri adalah sebab ketenangan bagi jiwa dan kebahagiaan hidup. Itulah mengapa Imam Al-Qurtubi berkata:
Ketika seorang lelaki mengikat wanita dengan pernikahan, Allah memerintahkan suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik. Sehingga dari situ timbul ikatan di antara keduanya dan muncullah persahabatan yang baik.
Karena hal itu (akur dengan pasangan) akan membuat jiwa lebih tenang dan hidup lebih bahagia, (Tafsir Al-Qurtubi).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
Jika setiap manusia bergaul dengan istrinya dengan cara yang makruf, dan istrinya juga seperti itu, akan bersemailah rasa cinta dan keharmonisan, serta akan terwujudlah kehidupan pernikahan yang bahagia, (Fatwa Nur Ala Darbi li Ibni Utsaimin: Jilid 4/Hal. 2).
APLIKASI MU’ASYARAH BIN MA’RUF
Berikut kami nukilkan beberapa penjelasan ulama tentang cara menerapkan mu’asyarah bil ma’ruf.
Pertahankan Pernikahan, Meski Tidak Cinta
Jika seseorang sudah menikahi wanita, kemudian suami merasa tidak lagi cinta kepada istrinya, sungguh, itu adalah tipu daya setan. Makna Mu’asyarah bil Ma’ruf dijelaskan bagus sekali di dalam lanjutan ayat ini, yaitu:
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (hanya karena urusan duniawi, bukan karena suami/istri melanggar syariat), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak, (QS An Nisa: 19).
Syaikh Abdurrahman Nasir As-Sa’di berkata:
Hendaknya kalian, wahai para suami, mempertahankan pernikahan dengan istri-istri kalian, meskipun kalian tidak menyukai mereka (hanya karena urusan duniawi, bukan karena suami/istri melanggar syariat dengan selingkuh atau zina, misalnya), karena di dalam hal itu (upaya mempertahankan pernikahan dengan istri yang tidak melanggar syariat dan tidak dicintai) terdapat kebaikan yang sangat banyak:
Hal itu adalah tanda bahwa seseorang menuruti perintah Allah.
Hal itu adalah tanda bahwa seseorang itu menerima wasiat dari Allah agar berbuat baik kepada para istri.
Di dalamnya terdapat bentuk mujahadah (berjuang) melawang hawa nafsu yang buruk.
Hal itu adalah tanda seseorang memiliki dan menerapkan akhlak yang sangat baik.
Di dalam itu semua terdapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Bisa saja, pasangan tersebut akan diberi rezeki atas kesabarannya mempertahankan pernikahan itu dengan rezeki berupa anak yang saleh, yang akan memberi manfaat bagi kedua orang tuanya, di dunia dan akhirat, (Taisiril Karimir Rahman).
Suami Wajib Menyediakan Tempat Tinggal
Imam An-Nawawi di dalam kitabnya Majmu Syarah Muhazab berkata:
Wajib bagi seorang istri disediakan tempat tinggal, berdasarkan firman Allah, “Pergaulilah istri-istri kalian dengan cara yang makruf.” Dan di antara tafsir dari kata makruf adalah seorang suami menempatkan istrinya di suatu tempat tinggal, (Majmu Syarah Muhazab: 18/256).
Suami Memenuhi Hak istri tanpa harus Diminta oleh Istri
Imam An-Nawawi berkata di dalam kitabnya Majmu Syarah Muhazab:
Wajib atas suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang makruf dan tidak menyakitinya berdasarkan firman Allah ta’ala, “Pergaulilah istri-istri kalian dengan cara yang makruf.” Dan wajib bagi suami memenuhi hal istri tanpa harus diminta oleh istri.
Wajib Membuat Jadwal Bermalam dan Tetap Memenuhinya Meskipun Istri Berhalangan
Imam Syihabudin Ar-Ramli di dalam Fathur Rahman bi Syarhi Zubad ibni Ruslan (1/771) berkata:
Membagi jadwal bermalam di antara 4 atau 2 istri hukumnya wajib bagi seorang suami. Dia tetap wajib menginap di salah satunya meskipun sang suami tidak bisa bersetubuh karena alasan yang sifatnya alami atau karena alasan syar’i, seperti istri sedang sakit, lubang kemaluannya kekecilan, atau karena haid.
Menyediakan Pembantu bagi Istri jika…
Ya! Di dalam kajian fikih mazhab Syafii, seorang suami wajib menyediakan minimal satu pembantu bagi istrinya jika sebelum menikah, istrinya itu biasa dilayani oleh pembantu, ketika masih berstatus bujangwati di rumah orang tuanya.
Tertulis di dalam Raudhatut Thalibin (9/44):
Wanita itu ada dua macam; salah satunya adalah wanita yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, karena memang itu adalah adat di negerinya. Bahkan, mereka memiliki pembantu yang mengurus mereka. Jadi, siapa saja istrinya termasuk golongan ini, suaminya wajib menyediakan pembantu untuk istrinya, dan ini adalah pendapat yang kuat di dalam mazhab (Syafiiah), dan merupakan pendapat jumhur.
Bahkan dikatakan bahwa wajibnya menyediakan pembantu ini berlaku untuk suami yang kaya maupun suami yang miskin, suami yang berstatus budak mukatab[1] atau masih berstatus budak murni, (Raudhatut Talibin: 9/44).
Jadi, bagi bujangan yang ekonominya pas-pasan, kalau hendak melamar wanita yang kaya dan punya pembantu, mohon dipertimbangkan ulang ya.
Penuhi Hak Mereka, Jangan Mbesengut atau Kasar
Di antara penafsiran wa āsyirūhunna bil ma’rūf, kata Imam Al-Qurtubi, adalah:
1 – Penuhi hak mahar dan nafkah mereka
2 – Jangan bermuka masam di hadapannya, padahal mereka tidak bersalah
3 – Jangan kasar atau keras saat berbicara, dan
4 – Jangan menampakkan kecenderungan Anda kepada wanita selain dia, (Tafsir Al-Qurtubi).
Berdandan yang Ganteng di Hadapan Istri
Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata:
Sungguh, aku kok suka ya kalau aku ini berhias untuk istriku, seperti aku suka jika istriku itu berdandan untuk diriku, (Tafsir Al-Qurtubi).
Tertulis di dalam Tafsir Al-Baghawi:
Dia (laki-laki) berbuat baik kepada istrinya, seperti dia (perempuan) berbuat baik kepada suaminya.
Syaikh bin Baz berkata:
Hukumnya mustahab (disarankan) bagi wanita untuk berdandan di hadapan suaminya, karena ini adalah satu dari sekian sebab munculnya rasa cinta kepada sang istri, juga termasuk sebab munculnya kecenderungan hati dari suami kepada istrinya. Maka, berdandannya para wanita kepada suaminya termasuk dalam penerapan ayat di atas, (Fatwa Nur Ala Darbi li Ibni Baz bi Inayati Syuwai’ir: 21/116).
Bermajelis dan Makan Bersama Istri
Ketika menjelaskan penggalan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata:
Di antara akhlak Nabi ﷺ adalah beliau mengumpulkan istri-istri beliau setiap malam (untuk bermajelis bersama beliau) di rumah istri yang mendapat giliran pada saat itu, kemudian kadang kala Rasulullah ﷺ makan malam bersama mereka, (Tafsir Ibnu Katsir).
Begadang dan Ngobrol Bersama Istri agar lebih Akrab
Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini berkata:
Dulu beliau apabila selesai melakukan salat Isya, beliau akan masuk rumah, kemudian begadang sambil ngobrol (يَسْمُر) bersama istri beliau sebentar sebelum tidur, sebagai bentuk ramah tamah dan akrab-akraban (أنِسَ – يَأْنِسُ), (Tafsir Ibnu Katsir).
Tidur Satu Kamar dengan Istri dan Berpakaian Minim
Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini berkata:
Dulu Nabi ﷺ tidur bersama salah satu istrinya dalam satu selimut, dengan terlebih dahulu beliau meletakkan selendang yang biasa beliau pakai di pundak sebagai alas, lalu tidur dengan hanya memakai sarung, (Tafsir Ibnu Katsir).
Mengizinkan Istri Berkunjung ke Rumah Saudaranya
Termasuk ke dalam makna pergaulan yang baik adalah tidak melarang istri berkunjung ke rumah saudaranya. Lajnah Daimah pernah ditanya:
Bolehkah suami melarang istrinya istrinya pergi ke rumah saudaranya?
Jawaban Lajnah Daimah:
Wajib bagi suami untuk bergaul dengan istrinya secara baik, sebagai bentuk pengaplikasian firman Allah:
Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik, (QS An Nisa: 19).
Dan di antara bentuk pergaulan yang baik terhadap istri adalah memberikan izin kepada istri untuk berkunjung ke rumah saudaranya, dan mengantarkannya.
Tetapi jika kunjungannya ke rumah keluarganya itu bisa menyebabkan timbulnya keburukan, boleh bagi suami untuk melarang istrinya berkunjung.
Karena mencegah keburukan lebih diutamakan daripada menggapai kemaslahatan, (Fatwa Lajnah Daimah: 25/387-388).
Tidak Membebani Istri secara Berlebih
Syaikh Abdullah Al-Faqih dari Asy-Syabakah Al-Islamiyah berkata:
Tetapi ingat, WAJIB bagi SUAMI untuk tidak membebani istrinya secara berlebihan. Kemudian Syaikh menyebutkan penggalan ayat di atas, (Fatwa Asy-Syabakah Al-Islamiyah No: 17865).
12 ADAB SUAMI KEPADA ISTRI
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali menulis 12 adab suami kepada istri:
Adab suami terhadap Istri, yaitu:
berinteraksi dengan baik,
bertutur kata yang lembut,
menunjukkan cinta kasih,
bersikap lapang ketika sendiri,
tidak terlalu sering mempersoalkan kesalahan, memaafkan jika istri berbuat salah,
menjaga harta dan kehormatan istri,
tidak banyak berdebat dengan istri,
mengeluarkan biaya untuk kebutuhan istri secara tidak bakhil,
memuliakan keluarga istri,
senantiasa memberi janji yang baik,
dan memiliki gairah/cemburu yang tinggi terhadap istri.
Karangasem, 11 Mei 2023
Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)
[1] Budak yang dijanjikan merdeka oleh tuannya apabila si budak sanggup membayar tebusan.