Sahihul Adab Al-Islamiyah: Adab Menyambung Silaturahmi
Pembaca rahimakumullah, berikut adalah adab menyambung silaturahmi yang kami terjemahkan dari kitab Sahihul Adab Al-Islamiyah karya Syaikh Wahid Abdussalam Bali hafizahullah. Semoga bermanfaat!
Adab Menyambung Silaturahmi dalam Islam
1 – Memperhatikan Kondisi Kerabat dan Memberikan Kegembiraan pada Mereka
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.” (QS. An-Nisa: 1).
Artinya:
Takutlah memutus hubungan silaturahim.
Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang senang dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahim,” (Sahih Bukhari: 20567. Sahih Muslim: 2557).
Ibn Majah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, orang-orang bergegas datang menemuinya. Ada yang berkata:
Rasulullah telah tiba. Rasulullah telah tiba. Rasulullah telah tiba. Rasulullah telah tiba, sebanyak tiga kali.
Saya datang bersama orang-orang untuk melihatnya. Ketika saya melihat wajahnya, saya tahu bahwa wajahnya bukan wajah pendusta. Hal pertama yang saya dengar darinya adalah ia berkata:
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah silaturahim, dan shalatlah di malam hari ketika manusia tidur; niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (Sunan Ibnu Majah: 3251. Al-Albani: Sahih).
2 – Tidak Memutuskan Silaturahim
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, lalu dibuat tuli (pendengaran mereka), dan dibutakan (penglihatan mereka).” (QS. Muhammad: 22-23).
Dalam Shahihain, dari Jubair bin Mut’im radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturahim.” (Sahih Bukhari: 5984. Sahih Muslim: 2556).
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, ketika selesai menciptakan mereka, rahim (hubungan kekerabatan) berdiri dan berkata:
Ini adalah tempat orang yang berlindung dari pemutusan hubungan. Allah berfirman:
Ya, tidakkah kamu puas jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu? Rahim berkata: Ya. Allah berfirman: Itulah untukmu. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bacalah jika kalian mau: ‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, lalu dibuat tuli (pendengaran mereka), dan dibutakan (penglihatan mereka). Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?'” (QS. Muhammad: 22-24).
3 – Menyambung Silaturahim dengan Menasihati, Membimbing yang Tersesat, dan Mengingatkan yang Lalai
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214).
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Ketika ayat ini turun:
“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat,” Rasulullah ﷺ memanggil kaum Quraisy, mereka berkumpul, lalu beliau mengkhususkan dan menyebutkan, dan berkata:
“Wahai Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkan diri kalian dari neraka, wahai Bani Murrah bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dari neraka, wahai Bani Abdul Syams, selamatkan diri kalian dari neraka, wahai Bani Abd Manaf, selamatkan diri kalian dari neraka, wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari neraka, wahai Bani Abdul Muthalib, selamatkan diri kalian dari neraka, wahai Fathimah, selamatkan diri kalian dari neraka; sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu pun dari Allah untuk kalian, kecuali bahwa kalian memiliki rahim yang akan aku sambung dengan kebaikannya,” (Sahih Bukhari: 2753. Sahih Muslim: 204).
4 – Menyambung Silaturahim dengan Bersedekah kepada Mereka Jika Mereka Miskin
Diriwayatkan oleh Tirmidzi – dan ia menyebutnya hasan – dari Salman bin Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah, dan kepada kerabat dua: sedekah dan menyambung silaturahim.” (Musnad Ahmad: 16227, Tirmidzi: 658. At-Tirmidzi: Sahih).
Abu Talhah adalah orang yang paling banyak memiliki harta di antara Anshar di Madinah berupa pohon kurma. Harta yang paling ia cintai adalah Bairuha, yang terletak di depan masjid. Rasulullah ﷺ sering memasukinya dan minum dari airnya yang baik. Anas berkata: Ketika ayat ini turun:
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92),
Abu Talhah berdiri di hadapan Rasulullah ﷺ dan berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
Harta yang paling aku cintai adalah Bairuha, maka ia menjadi sedekah untuk Allah. Aku berharap kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Maka letakkanlah di tempat yang Allah tunjukkan kepadamu, ya Rasulullah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bagus, itu adalah harta yang menguntungkan. Itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan. Aku melihat agar kamu memberikannya kepada kerabatmu.”
Abu Talhah berkata:
Aku akan melakukannya ya Rasulullah. Maka Abu Talhah membagikannya kepada kerabatnya dan anak-anak pamannya. (Sahih Bukhari: 1461. Sahih Muslim: 998).
5 – Memberikan Hadiah kepada Kerabat
Dalam Shahihain, dari Kuraib maula Ibn Abbas, Maimunah binti Al-Harith radhiyallahu ‘anha memberitahukan bahwa
Dia memerdekakan seorang budak wanita tanpa meminta izin kepada Nabi ﷺ.
Ketika hari giliran Nabi ﷺ berada bersamanya, ia berkata:
Apakah engkau tahu, ya Rasulullah, bahwa aku telah memerdekakan budakku?
Nabi ﷺ bertanya:
“Apakah engkau telah melakukannya?” Ia berkata: Ya. Nabi ﷺ berkata:
“Kalau engkau memberikannya kepada paman-pamanmu, maka itu lebih besar pahalanya bagimu,” (Sahih Bukhari: 2592. Sahih Muslim: 999).
6 – Membalas Pemutusan Silaturahim dengan Menyambung dan Keburukan dengan Kebaikan
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang menyambung apa-apa yang Allah perintahkan untuk disambung dan mereka takut kepada Tuhan mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 21).
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukanlah orang yang menyambung (hubungan) itu yang membalas (kebaikan), tetapi orang yang menyambung (hubungan) itu adalah yang menyambung hubungan ketika diputus,” (Sahih Bukhari: 5991).
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang pria berkata:
Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kerabat yang aku sambung, tetapi mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk kepadaku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka bersikap bodoh kepadaku.
Nabi ﷺ bersabda:
“Jika kamu seperti yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu memberi mereka debu panas. Dan akan selalu ada penolong dari Allah bersamamu selama kamu dalam keadaan demikian.” (Sahih Muslim: 2558).
PENJELASAN:
Tusiḍduhum al-mall artinya memberi mereka debu panas. Maksudnya, dengan banyaknya kebaikanmu kepada mereka, kamu membuat mereka merasa kecil
7 – Berbuat Baik kepada Bibi dari Pihak Ibu dan Menyambung Silaturahmi dengan Mereka
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bibi dari pihak ibu itu seperti ibu.” (Sahih Bukhari: 2699).
PENJELASAN
Hadis ini menunjukkan bahwa bibi (saudara perempuan ibu) memiliki kedudukan istimewa dalam keluarga. Kasih sayangnya kepada keponakan diibaratkan seperti kasih sayang seorang ibu.
Dalam hubungan keluarga, Islam menekankan pentingnya menjaga tali kekerabatan (silaturahmi). Bibi dari pihak ibu memiliki hak perhatian dan penghormatan yang hampir sama seperti ibu.
Dalam Kasus Pengasuhan
Hadis ini juga menjadi dasar hukum bahwa jika seorang anak kehilangan ibu kandungnya, maka bibi dari pihak ibu dapat menggantikannya dalam pengasuhan. Ini menunjukkan kepercayaan Islam terhadap peran penting bibi dalam membimbing dan merawat keponakan.
Dalam Konteks Mahram: Bibi dari pihak ibu adalah mahram bagi keponakannya. Hal ini juga ditegaskan oleh ayat Al-Qur’an dan hadis lainnya.
Konteks Riwayat: Hadis ini diriwayatkan dalam konteks ketika seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk meminta izin membawa seorang anak yatim dalam asuhannya. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa bibi dari pihak ibu memiliki hak lebih besar untuk mengasuh anak tersebut karena hubungannya yang dekat, seperti kedudukan ibu.
Pelajaran dari Hadis
Penghormatan kepada Bibi: Bibi harus dihormati seperti seorang ibu, termasuk dalam akhlak, pergaulan, dan hak-haknya dalam keluarga.
Pentingnya Silaturahmi: Islam mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan kerabat, terutama bibi, yang memiliki posisi penting dalam keluarga.
Hak Pengasuhan: Ketika ibu tidak ada, bibi dari pihak ibu lebih diutamakan daripada orang lain untuk menjadi pengasuh.
8 – Menghindari khalwat dengan wanita non-mahram atau berjabat tangan dengan mereka selama mengunjungi kerabat
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita sesama mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31).
KESIMPULAN DARI AYAT:
Mahram adalah orang-orang yang haram dinikahi selamanya karena hubungan darah, pernikahan, atau penyusuan. Berdasarkan QS An-Nur ayat 31, mahram perempuan dan laki-laki diidentifikasi sebagai pihak-pihak yang diizinkan untuk melihat sebagian aurat perempuan Muslim, dengan pengecualian tertentu. Berikut adalah daftar mahram sesuai ayat ini dan pemahaman fiqh:
Mahram Perempuan
Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini adalah:
- Suami: Tidak disebut secara eksplisit dalam ayat ini, tetapi jelas diperbolehkan.
- Ayah kandung: Termasuk ayah biologis.
- Ayah mertua: Ayah dari suami.
- Putra kandung: Anak laki-laki biologis.
- Putra suami (anak tiri): Anak dari suami dengan istri lain, selama anak tersebut tinggal bersama dan dianggap keluarga.
- Saudara laki-laki kandung: Kakak atau adik laki-laki seayah dan seibu.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan).
- Anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan).
- Para laki-laki yang tidak memiliki hasrat seksual (misalnya, laki-laki lanjut usia yang tidak memiliki keinginan seksual).
- Anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan (belum baligh dan belum memiliki hasrat seksual).
Mahram Laki-Laki
Ayat ini khusus membahas aurat perempuan dan kepada siapa mereka boleh menampakkan sebagian auratnya. Mahram laki-laki bagi seorang Muslim bisa dirujuk dari ayat ini dan aturan lain dalam syariat:
- Ibu kandung.
- Ibu mertua.
- Anak perempuan kandung.
- Anak perempuan istri (anak tiri perempuan).
- Saudara perempuan kandung.
- Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah).
- Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu).
- Keponakan perempuan dari saudara kandung laki-laki atau perempuan.
Catatan Penting:
Hubungan karena penyusuan (radha’ah) juga menjadi mahram, sesuai penjelasan tambahan dalam fiqh dan hadis.
Mahram ini berlaku untuk pergaulan sehari-hari, seperti dalam hal aurat, safar, dan aturan interaksi lainnya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah kalian masuk menemui wanita.”
Seorang laki-laki dari Anshar bertanya:
“Wahai Rasulullah, bagaimana jika dengan saudara ipar?” Beliau menjawab:
“Saudara ipar adalah maut.” (Sahih Bukhari: 5232).
PENJELASAN:
“Al-hamwu”: bentuk jamak dari “ahmâ`”, yaitu kerabat suami seperti saudara suami, anak pamannya, dan sejenisnya.
“Al-hamwu adalah maut”: ini berarti bahwa berduaan dengan saudara ipar bisa menyebabkan kehancuran agama jika terjadi dosa, atau kematian jika terjadi dosa yang menyebabkan hukuman mati, atau kehancuran keluarga jika suami menceraikan istrinya karena cemburu.
Dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya.”
Seorang laki-laki berkata:
“Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk haji, sedangkan aku diharuskan ikut dalam perang ini dan itu.” Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kembalilah, berhaji bersama istrimu.” (Sahih Bukhari: 5233. Sahih Muslim: 1341). Wallahua’lam
Karangasem, 16 November 2024
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan menempatkan ibunya di surga. Amin)