Fiqih

Syarat Wajib dan Syarat Sahnya Shalat

Oleh Sheikh Abu Bakar Jabir AL-Jazairiy
A. Syarat-syarat Wajib dalam Sholat

1. Islam
Dengan syarat ini, maka orang kafir tidak wajib mengerjakan sholat, karena mendahulukan dua kalimat syahadat adalah syarat dalam perintah wajib shalat.

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam:

Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat.”

Dan juga sabda beliau Shalallahu’alaihi Wasallam kepada Mu’adz:

Maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, jika mereka mematuhimu akan hal itu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap hari, siang dan malam,” (HR An-Nasa’i: 5/3).

2. Berakal
Orang gila tidak terbebani kewajiban sholat, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam:

Pena (pencatat amalan) itu diangkat dari tiga orang; orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai berusia baligh, dan dari orang gila sampai dia berakal,” (HR Abu Daud: 5398, 4400).

3. Baligh
Anak-anak tidak terbebani kewajiban shalat sampai menginjak usia baligh. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, “Dan anak kecil sampai berusia baligh.”

Namun, sebagai ajang latihan, mereka tetap diperintahkan untuk mengerjakannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam:

Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau menunaikannya ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurn mereka,” (HR Abu Daud: 26 dan Ibnu Majah: 275, 276).

4. Masuk Waktunya

Sholat tidak wajib ditunaikan sampai waktunya tiba. Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman,” (QS An-Nisa: 103).

Artinya, shalat itu mempunyai waktu tertentu. Sebagaimana Jibril pernah turun, lalu mengajarkan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam tentang waktu-waktu shalat.

Jibril berkata kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam, “Berdirilah dan kerjakan shalat.” Lalu beliau mengerjakan shalat dzuhur ketika matahari mulai tergelincir ke sebelah barat.

BACA JUGA:  Minhajul Muslim: Fikih Salat Jamaah dan Imamah

Kemudian tiba waktu ashar, lalu Jibril berkata, “Berdirilah dan kerjakan shalat.” Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam mengerjakan shalat ashar ketika bayangan segala sesuatu itu panjangnya sama.

Selanjutnya tibalah waktu maghrib, lalu Jibril berkata, “Berdirilah dan kerjakan shalat.” Kemudian beliau mengerjakan shalat maghrib ketika matahari telah terbenam.

Kemudian datanglah waktu shalat isya’ lalu Jibril berkata, “Berdirilah dan kerjakan shalat.” Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam berdiri dan mengerjakan shalat isya ketika sinar merah matahari saat terbenam telah lenyap.

Lalu datang waktu subuh ketika fajar telah terbit, kemudian datang waktu dzuhur pada hari berikutnya, lalu Jibril berkata, “Berdirilah dan kerjakan shalat.” Lalu Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam mengerjakan shalat dzuhur ketika bayangan segala sesuatu itu panjangnya sama.

Kemudian tibalah waktu ashar lalu dia berkata, “Berdirilah dan kerjakan shalat,” lalu beliau mengerjakan shalat ashar ketika bayangan segala sesuatu itu panjangnya dua kali lipat, kemudian datang waktu maghrib, satu waktu masih tetap sama dengan sebelumnya, kemudian datang waktu isya ketika seperdua malam telah lewat atau sepertiga malam, lalu beliau mengerjakan shalat isya’ kemudian dia mendatanginya ketika fajar sangat kuning lalu berkata, “Berdirilah dan kerjakan shalat,” lalu beliau mengerjakan shalat subuh, kemudian beliau berkata, “Antara dua inilah waktunya,” (HR An-Nasa’i: 1/263, dan Imam Ahmad: 3/ 113, 182).

5. Suci dari darah haid (menstruasi) dan nifas
Dengan demikian, wanita yang sedang haid (menstruasi dan wanita yang nifas tidak terbebani kewajiban shalat sampai suci. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam:

Apabila kamu datang bulan (haid/ menstruasi), maka tinggalkanlah shalat,” (HR Al-Bukhari: 1/84, 87, Muslim: 62, Kitab Al-Haidh, dan Abu Daud Kitab Ath-Thaharah).

B. Syarat-syarat sahnya shalat

Adapun syarat-syarat sahnya shalat adalah sebagai berikut:

1. Suci dari hadats kecil,
yaitu hal yang mewajibkan berwudhu, suci dari hadats besar, yaitu hal yang mewajibkan mandi besar dan suci dari najis pada pakaian orang yang mengerjakan shalat, tubuhnya, dan tempat shalatnya.

BACA JUGA:  Hukum Sahur sebelum Mandi Junub, Ini Kata Ulama

Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam:

Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci,” (HR An-Nasa’i: 1/87, dan Ad-Darimi: 1/175).

2. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid…” (Al-A’raaf: 31).

Tidak sah shalat seseorang yang dikerjakan dengan membuka aurat karena fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat.

Adapun batasan aurat bagi laki-laki yaitu antara pusar dan kedua lututnya, sedangkan batasan aurat bagi perempuan yaitu seluruh anggota tubuh selain muka dan kedua telapak tangannya.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam:

Allah tidak menerima shalat perempuan yang sudah mengalami haid (menstruasi atau baligh) kecuali dengan memakai jilbab,” (HR Abu Daud: 641).

Ketika Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam ditanya perihal shalat perempuan dengan memakai Ad-Dir’u (pakaian yang dapat menutupi seluruh tubuh wanita) dan kerudung tanpa memakai pakaian bawahan (rok/ sarung), beliau menjawab:

Jika pakaian (gamis) itu panjang dan dapat menutupi bagian luar kedua telapak kakinya (itu boleh),(HR Abu Daud: 640, dan Ad-Daruquthni: 2/62).

3. Menghadap Kiblat
Tidak sah shalat yang dikerjakan tidak menghadap kiblat. Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“…Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…” (QS Al-Baqarah: 144).

Maksudnya, menghadap ke Masjidil Haram di Mekkah. Namun orang yang tidak bisa menghadap kiblat karena kondisi takut, atau sakit, atau lainnya, maka syarat ini tidak berlaku.

Orang yang sedang melakukan perjalanan boleh mengerjakan shalat di atas kendaraannya sesuai arah jalan yang dituju baik kiblat atau menghadap selainnya.

Berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam:

Rasulullah pernah mengerjakan shalat di atas kendaraannya (untanya), sedangkan beliau ketika itu datang dari Mekkah menuju Madinah, dengan menghadap ke arah mana saja kendaraannya itu berjalan,” (HR Muslim: 33, kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha). Wallahu’alam bish shawwab.

Baca juga:
Fiqih Shalat: Rukun-rukun Shalat
Fiqih Shalat: Jenis atau Macam-macam Shalat
Fiqih Shalat: Hukum Shalat, Hikmah Shalat, dan Keutamaan Shalat 

BACA JUGA:  Hukum Mengusap Wajah setelah Salat atau Tilawah

shalat, hukum shalat, hikmah shalat, keutamaan shalat, cara cara shalat, cara shalat, bacaan-bacaan shalat, bacaan shalat, tata cara shalat, doa shalat, doa doa shalat, niat shalat, waktu shalat, tatacara shalat, tuntunan shalat, doa sesudah shalat, shalat fardhu,

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button