Adab Ziarah Kubur dari kitab Sahih Adab Islamiyah
Disunahkannya Ziarah Kubur
Rasulullah ﷺ bersabda:
Dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang lakukan ziarah kubur, [Sahih Muslim: 977].
Catatan penerjemah:
Al-Bakri Asy-Syafii di dalam Ianatu Thalibin (2/161) berkata, “Makruh apabila keluarnya wanita untuk ziarah kubur tidak menimbulkan firnah. Jika timbul fitnah, maka tidak diragukan lagi akan keharamannya. Dalam hal ini, berlaku hadis, ‘Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para sahabat memiliki tiga pendapat yang berbeda,
1) haram karena hadis ‘Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur,’
2) makruh,
3) mubah karena hadis ‘Dulu saya melarang ziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah.’
Pendapat ketiga dapat dibantah karena kata ganti yg dipakai adalah kata ganti untuk laki-laki, sehingga wanita tidak termasuk di dalamnya, dan ini adalah pendapat yang benar dan terpilih,” (Syarah Sahih Muslim: 977).
Tidak memohonkan ampunan kepada Allah untuk mayat yang meninggal dalam keadaan bukan muslim, meskipun dia kerabat dekat
Allah ﷻ berfirman:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam, [At-Taubah: 113].
Catatan penerjemah:
Syaikh Abdurrahman Nasir As-Sa’di berkata: “Di antara sifat ahlus sunah wal jamaah adalah saling memintakan ampunan satu sama lain… baik ketika saudaranya ada, tidak ada, masih hidup atau sudah mati. Ayat ini menunjukkan bahwa saling mendoakan adalah satu dari sekian hak kaum mukminin.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku mohon izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi tidak diperkenankan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka diperkenankan,” [Sahih Muslim: 976].
Catatan penerjemah:
Tentang hadis ini, Imam Nawawi berkata: “Boleh orang Islam menziarahi orang tua yang musrik ketika masih hidup. Boleh orang Islam menziarahi kuburan orang tua yang orang musrik. Dalilnya adalah firman Allah:
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,” (QS Luqman: 15).
Al-Qadhi berkata, “Rasulullah menangis karena ibunya tidak mendapati hari-hari setelah Islam datang dan tidak mendapati ibunya beriman kepadanya.”
Memberi salam kepada penghuni kubur
Dari Buraidah radhiyallahuanhu dia berkata:
Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada mereka apa yang mesti mereka kerjakan apabila mereka hendak keluar untuk ziarah kubur. Maka salah seorang dari mereka membaca do’a seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakar:
Sementara di dalam riwayat Zuhair tertulis:
(Semoga keselamatan tercurah bagi penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan kami insya Allah akan menyulul kalian semua. Saya memohon kepada Allah bagi kami dan bagi kalian Al ‘Afiyah (keselamatan), [Sahih Muslim: 975].
Catatan Penerjemah:
Imam Nawawi berkata, “Di dalam hadis ini terdapat dalil tentang dianjurkannya untuk berziarah kubur dan menyampaikan salam kepada para penghuninya, mendoakan mereka, dan memintakan rahmat untuk mereka.”
“Hadis ini juga merupakan dalil bagi orang yang membolehkan kaum wanita untuk melakukan ziarah kubur,” (asalkan tidak terlalu sering – misal dengan ikut wisata ziarah ke beberapa kuburan).
Mendoakan si mayit
Allah ﷻ berfirman:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang, [Surat Al Hashr: 10].
Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Doa seorang muslim untuk saudaranya sesama muslim dari kejauhan tanpa diketahui olehnya akan dikabulkan. Di atas kepalanya ada malaikat yang telah diutus, dan setiap kali ia berdoa untuk kebaikan, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan ‘Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu, [Sahih Muslim: 2773].
Rasulullah ﷺ bersabda:
Jika seseorang meninggal dunia, akan terputs semua amal darinya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya, [Sahih Muslim: 1631].
Tidak Mencela Mayit
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah kalian mencela mayat, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan,” [Sahih Bukhari: 1393].
Catatan penerjemah:
Imam Bukhari memberi judul hadis ini, “Larangan mencela orang yang telah meninggal dunia.”
Ibnu Al-Manayyar di dalam Fathul Bari berkata, “Kalimat ada judul bab menunjukkan adanya cacian yang terlarang, ada pula cacian yang tidak dilarang. Apalagi ada hadis Anas yang menyebutkan bahwa Nabi ketika mendengar sahabat mencela mayat, beliau berkata “Wajabat.” Lalu ketika sahabat memuji mayat yang lewat, beliau berkata, “Wajabat.” Ada kemungkinan bahwa pemakaian huruf alif dan lam pada kata al-amwaat berfungsi untuk makrifat, yaitu kaum muslimin. Jadi, tidak boleh mencela jenazah orang Islam, dan boleh mencela jenazah orang kafir, karena itu merupakan sarana taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah.”
Ibnu Hajar Al-Asqalani sendiri berkata, “Mayat orang kafir dan fasik boleh diceritakan keburukannya dalam rangka memberi peringatan bagi orang lain serta menjauhkan mereka dari perbuatan serupa.”
Tidak Menyalakan Lilin, Obor, atau yang Semisal di atas Kuburan
Imam At-Tirmizi meriwayatkan dan beliau menilai hadis ini hadis Hasan dari Ibnu Abbas Radhiyallahuanhuma yang berkata:
Rasulullah ﷺ melaknat wanita yang ziarah kubur, orang yang menjadikannya masjid, dan orang yang memasang lentera, [Sunan At-Tirmizi: 32].
Zaairat ini maknanya beragam. Imam As-Suyuti berkata, “Laknat di sini yaitu ziarahnya wanita yang dibarengi dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan, seperti berdandan, mengeluh, berteriak, dan hal-hal yang tidak pantas lainnya. Jika aman dari ini semua, hukumnya boleh (makruh).”
Lalu Al-Qari di dalam Tuhfatul Ahwazi berkata, “banyak berziarah.” Sedangkan Al-Qurtubi menilai, “Laknat ini untuk yang banyak atau sering melakukan ziarah (haram).”
Dan kedua pendapat ini bisa dikompromikan dengan thesis bahwa “Wanita yang sering berziarah kubur, dia berpotensi melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan, seperti berdandan, mengeluh, berteriak, dan yang semisal.”
Menjauh dari Perkara-perkara yang Menyelisihi Syariat dalam Ziarah Kubur
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabin bin Abdullah Radhiyallahuanhuma yang berkata:
“Rasulullah ﷺ menyampaikan khutbah. Kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobat seperti panglima perang yang sedang memberi komando kepada prajuritnya.”
Beliau bersabda:
Hendaknya kalian selalu waspada di pagi dan sore hari.
Aku diutus sedangkan atara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (jari telunjuk dan jari tengah).
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat,” [Sahih Muslim: 867].
Tidak Duduk di atas Kuburan dan tidak Berbaring di atasnya
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallahuanhu yang berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya adalah lebih baik baginya daripada ia harus duduk di atas kuburan, [Sahih Muslim: 971].
Catatan penerjemah:
Imam Nawawi berkata, “Para sahabat kami (ulama mazhab syafiiah) berpendapat duduk di atas kuburan hukumnya haram, begitu juga bersandar dan bertopang padanya. Membangun kuburan di pemakaman umum juga haram,” (Syarah Sahih Muslim: 971).
Tidak Membangun Masjid di atas Kuburan
Di dalam Sahihain dari Aisyah dan Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu yang berkata bahwa ketika sakit Rasulullah ﷺ semakin parah, beliau memegang bajunya dan ditutupkan pada mukanya. Bila terasa sesak, beliau lepaskan baju itu dari mukanya. Dalam keadaan seperti itu Rasulullah ﷺ bersabda:
“Semoga laknat Allah menimpa orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid,” [Sahih Bukhari: 435].
Tidak Berjalan di Kuburan dengan Memakai Sepatu/Sandal
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanad yang hasan dari Basyir bin Khashashiyah Radhiyallahuanhu yang mengatakan bahwa dulu dia berjalan bersama Rasulullah ﷺ kemudian beliau melewati kuburan orang-orang Islam dan orang-orang musyrik. Kemudian beliau melihat seseorang yang berjalan di antara kuburan sambil mengenakan dua sandal. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
Wahai pemilik dua sandal sibtiyah. Lepaskan dua sandalmu.
Kemudian orang tersebut melihat dan mengetahui bahwa yang berkata adalah Rasulullah ﷺ, maka dia melepaskannya dan meletakkannya, [Sunan Abu Dawud: 3230].
Namun jika melepaskan sendal justru memudharatkan seperti tertusuk duri, panas, terkena najis, atau sulit dan repot membukanya seperti khuf, maka ini tidak apa-apa tetap memakainya. Karena, Adh Dharar Yuzaal – Bahaya mesti dihilangkan. Al Masyaqqat Tajlibut Taysir, kesulitan membawa kemudahan.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
Yaitu tidak boleh memakai sendal, kecuali jika pada area kubur tersebut sangat panas, atau berduri, yang dapat menyakiti manusia maka boleh dia berjalan dengan sendal, tetapi dengan cara dia berjalan di antara kubur. (Syarh Sunan Abi Daud, No. 371)
Tidak Beristigasah dengan Mayat
Allah ﷻ berfirman di dalam Quran Surat Al-Anfal 9-10:
(Ingatlah), ketika kamu beristigasah kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”
Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana, (Surat Al Anfal 9 – 10).
Istigasah hampir mirip dengan doa. Hanya saja, istigasah ini dilakukan oleh orang dalam jumlah banyak, dan dalam keadaan yang sangat mendesak. Contoh dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat sedang berperang, keadaan sangat genting, mendesak, mencekam, lalu mereka beristigasah.
Ditulis oleh Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa. Kalau mau mondokin anak di PPTQ At-Taqwa, infonya ada di sini: bit,ly/daftarATTAQWA)
Referensi:
Sahihul Adab Al-Islamiyah karya Syaikh Wahid Abdussalam Bali
Syarah Sahih Muslim karya Imam An-Nawawi
Fathul Bari karya Ibnul Hajar Al-Asqalani
Syarah Sunan Abu Dawud karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad
Tuhfatul Ahwazi Syarah Jami At-Tirmizi karya Syaikh Abdurrahman Mubarakfuri
Taisiril Karimir Rahman karya Syaikh Abdurrahman Nasir As-Sa’di