Adab

Tadzkiratus Sami: Tidak Mengajar jika belum Mampu

Pembaca rahimakumullah, berikut adalah terjemahan kitab Tadzkiratus Sami wal Mutakallim Bab 2, Pasal 2, Poin 12, tentang, “Tidak mengajar jika belum mampu.” Teruskan membaca. Semoga bermanfaat!

Syaikh Badrudin Ibnu Jamaah berkata:

أَن لَا يَنْتَصِبَ لِلتَّدْرِيسِ إِذَا لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لَهُ وَلَا يَذْكُرِ الدَّرْسَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَعْرِفُهُ ، سَوَاءٌ أَشْرَطَهُ الْوَاقِفُ أَوْ لَمْ يَشْتَرَطْهُ فَإِنَّ ذَلِكَ لَعِبٌ فِي الدِّينِ وَازْدِرَاءٌ بَيْنَ النَّاسِ

Hendaknya tidak naik menuju level mengajar jika seseorang tidak mampu (tidak memiliki kualifikasi) untuk itu. Hendaknya tidak menyebutkan ilmu yang tidak dia ketahui. Hal ini berlaku sama, apakah wakif mensyaratkannya atau tidak. Perbuatan itu (mengajarkan sesuatu yang tidak diketahui) adalah bermain-main dalam agama, dan termasuk melecehkan (agama) di tengah-tengah manusia.

Catatan:

Ustadz Khairu Dai, ketika ditanya tentang kualifikasi atau kadar minimal untuk disebut “mampu mengajar” adalah seseorang bisa memahami apa yang dia bacakan. Ini adalah kadar minimal. Wallahu a’lam

Nabi ﷺ bersabda:

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ

“Seseorang yang menampakkan kepuasan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya adalah seperti seseorang yang memakai dua pakaian palsu,” (Sahih Bukhari: 5219).

Catatan:

Hadis ini adalah tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Ya Rasulullah, saya ini punya madu (suaminya punya beberapa istri). Apakah saya berdosa jika saya menampak-nampakkan kepuasan dari suamiku dengan sesuatu yang tidak diberikan suamiku kepadaku?” Kemudian Rasul menjawab dengan sabdanya di atas.

Dari Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H, ahli zuhud) dikatakan:

مَنْ تَصَدَّرَ قَبْلَ أَوَانِهِ، فَقَدْ تَصَدَّى لِهَوَانِهِ

Orang yang maju sebelum waktunya, dia akan malu sendiri.

Dari Abu Hanifah rahimahullah dikatakan:

مَنْ طَلَبَ الرِّيَاسَةَ فِي غَيْرِ حِينِهِ لَمْ يَزَلْ فِي ذُلٍّ مَا بَقِيَ

Siapa saja yang mencari jabatan padahal belum waktunya, dia akan terus berada dalam kehinaan di sisa hidupnya.

وَاللَّبِيبُ مَنْ صَانَ نَفْسَهُ عَنْ تَعَرُّضِهَا لِمَا يُعَدُّ فِيهِ نَاقِصًا أو بِتَعَاطِيهِ ظَالِمًا أوْ بِإِصْرَارِهِ عَلَيْهِ فَاسِقًا

Orang yang cerdas adalah orang yang menjaga dirinya dari sesuatu yang jika dia melakukannya, dia akan dianggap kurang, zalim, atau jika dia terus-menerus melakukannya, dia akan dianggap fasik.

فَإِنَّهُ مَتَى لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِمَا شَرَطَهُ الْوَاقِفُ فِي وَقْفِهِ أَوْ لِمَا يَقْتَضِيهِ عُرْفٌ مِثْلِهِ كَانَ بِإِصْرَارِهِ عَلَى تَنَاوُلِ مَا لَا يَسْتَحِقُّهُ فَاسِقًا

Jika dia tidak memiliki kualifikasi seperti yang disyaratkan oleh wakif dalam wakafnya, atau seperti standar pada umumnya, maka bersikukuh mengambil sesuatu yang tidak berhak diambil adalah kefasikan.

فَإِنْ كَانَ الوَاقِفُ شَرَطَ فِي الْوَقْفِ بِأَنْ يَكُونَ الْمُدَرِّسُ عَامِّيًّا أَوْ جَاهِلاً لَمْ يَصِحَّ شَرْطُهُ

Jika pewakaf menentukan syarat di dalam wakafnya, bahwa orang yang awam dan jahil (boleh menjadi guru), maka syarat seperti ini tidak sah.

وَإِنَّ شَرَطَ جَعْلَ نَاقِصٍ مَخْصُوصٍ مُدَرِّسًا سَقَطَ اِسْمُ الْفِسْقِ وَحَظَرُ الْإِثْمِ ، وَيَبْقَى التَّنَقُّصُ بِهِ وَالِاسْتِهْزَاءُ بِهِ بِحَالِهِ ،

Jika perwakaf membuat syarat khusus bahwa orang yang kurang mampu (kurang kompeten) boleh menjadi guru, maka status fasik dan dosa akan terputus (dari guru tersebut). Meski demikian, potensi bagi guru tersebut untuk mendapat hinaan dan (label) kurang (kompeten) akan tetap ada.

وَلَا يَرْضَى ذَلِكَ لِنَفْسِهِ أَرِيبٌ ، وَلَا يَتَعَاطَاهُ مَعَ الْغِنَى عَنْهُ لَبِيبٌ

Orang yang cerdas (ariiba) tidak akan rida jika hal itu pada dirinya. Orang cerdas (labib) yang tidak butuh dengan guru yang seperti itu tidak akan berurusan dengan guru tersebut.

وَلَا يَظْهَرُ مِنْ وَاقِفٍ شَرَطَ ذَلِكَ قَصْدُ الِانْتِفَاعِ وَلَا يَؤُولُ أَمْرُ وَقْفِهِ إِلَّا إِلَى ضَيَاعٍ

Tidak nampak dari pewakaf ketika dia mensyaratkan hal itu tujuan untuk memberi manfaat; dan pewakaf justru hanya akan mengubah wakafnya itu menjadi sesuatu yang sia-sia.

وَأَقَلُّ مَفَاسِدِ ذَلِكَ أَنَّ الْحَاضِرِينَ يَفْقِدُونَ الْإِنْصَافُ لِعَدَمِ مَنْ يَرْجِعُونَ إِلَيْهِ عِنْدَ الِاخْتِلَافِ

Keburukan yang paling minim dari hal itu (pewakaf membuat syarat khusus bahwa guru tidak harus mampu atau kompeten) adalah para hadirin akan kehilangan sifat objektif, karena tidak adanya orang yang menjadi rujukan ketika terjadi ikhtilaf.

لِأَنَّ الرَّبَّ الصَّدْرِ لَا يَعْرِفُ الْمُصِيبَ فَيَنْصُرَهُ وَالْمُخْطِئُ فَيَزْجُرَهُ

Karena pemilik majelis tidak tahu mana yang benar sehingga layak untuk ditolong, dan tidak tahu mana yang salah sehingga layak untuk dicegah.

BACA JUGA:  Larangan Menoleh ketika Berjalan | Sahih Adab Islam

Demikian terjemahan kitab Tadzkiratus Sami wal Mutakallim dari bab 2, pasal 2, poin 12, tentang tidak mengajar jika belum mampu. Semoga bermanfaat. Semoga kita menjadi guru yang memang benar-benar mampu untuk mengajar. Amin. Baarakallahu fiikum…

Karangasem, 1 Juni 2024

Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan menempatkan ibunya di surga. Amin)

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button