Fikih Dorar: Jenis-jenis Air Mutlak (Tahur/Murni)
Pembaca rahimakumullah, berikut adalah artikel tentang air mutlak dari kitab Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah > Kitab Taharah > Bab Pertama: Air > Macam-macam Air dan Hukumnya > Air Mutlak (Tahur). Teruskan membaca. Semoga bermanfaat!
AIR MUTLAK (TAHUR)
DEFINISI AIR MUTLAK
Air Mutlak adalah air yang tetap pada asal penciptaannya.[1]
JENIS-JENIS AIR MUTLAK
Ada delapan jenis air mutlak atau air murni yang disebutkan di dalam Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah:
1 – Air Hujan
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
Dan Dia menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengannya, (QS Al-Anfal: 11).
2 – Air Laut
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang yang mengatakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
Ya Rasulullah, kami berlayar di laut dan membawa sedikit air. Jika kami berwudu dengan air itu, kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudu dengan air laut?’ Rasulullah ﷺ menjawab:
Airnya suci dan menyucikan, bangkainya halal, (Sunan Abu Dawud: 83. Sunan At-Tirmizi: 69. Sunan An-Nasai: 59. Sunan Ibnu Majah: 386. Musnad Ahmad: 8720).
3 – Air Sungai
Allah Ta’ala berfirman:
Dan Dia menundukkan sungai-sungai untukmu, (QS Ibrahim: 32).
Ibnu Abidin berkata:
Ayat ini menunjukkan bahwa air sungai adalah suci, karena tidak ada nikmat dalam sesuatu yang najis, (Hasiyah Ibni Abidin: 1/180).
4 – Air Sumur
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa dikatakan kepada Rasulullah:
Apakah kami boleh berwudu dari sumur Buda’ah? (yaitu sumur yang dibuang ke dalamnya kain haid, daging anjing, dan kotoran) Lantas Rasulullah ﷺ menjawab:
Air itu suci dan tidak ada yang menajiskannya, (Sunan Abu Dawud: 66. Sunan At-Tirmizi: 66. Sunan An-Nasai: 326. Musnad Ahmad: 11275).
5 – Air Salju, Air Es yang Turun dari Langit
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ diam sejenak antara takbir dan bacaan (Al-Fatihah). Kemudian Abu Hurairah berkata:
Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, apa yang Anda ucapkan ketika diam sejenak antara takbir dan bacaan? Beliau bersabda:
Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air es dari langit, (Sahih Bukhari: 744. Sahih Muslim: 598).
6 – Air Sumber (Mata Air)
Yaitu air yang memancar dari bumii. Allah ta’ala berfirman:
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu Dia menjadikannya mata air di bumi? (Az-Zumar: 21).
Ibnu Abidin berkata:
Ayat ini menunjukkan bahwa air mata air adalah suci, karena tidak ada nikmat dalam sesuatu yang najis, (Hasiyah Ibni Abidin: 1/179-180).
7 – Air Zamzam
7.a – Hukum Bersuci dengan Air Zamzam
Diperbolehkan berwudu dan mandi dengan air Zamzam, dan ini disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta disebutkan adanya ijma’ (kesepakatan) tentang hal ini.
Dalil-dalil:
Pertama, dari Sunnah. Dari Ali Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Maka Nabi ﷺ meminta seember air Zamzam, lalu beliau meminumnya dan berwudu dengannya, (Musnad Ahmad: 564).[2]
Kedua, keumuman dalil yang mutlak dalam bersuci dengan air, baik untuk wudhu, mandi, atau lainnya.
7.b – Hukum Menghilangkan Najis dengan Air Zamzam
Boleh menghilangkan najis dengan air Zam-zam,[3] dan ini disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi,[4] Maliki,[5] Syafi’i,[6] dan Hanbali.[7]
Dalil-dalil:
1 – Tidak ada dalil yang melarang penggunaan air Zamzam untuk menghilangkan najis.[8]
2 – Abu Dzar Radhiyallahu Anhu menghilangkan darah yang mengalir dari tubuhnya setelah dirajam oleh Quraisy dengan air Zamzam.[9]
3 – Asma binti Abu Bakar memandikan tubuh anaknya, Abdullah bin Zubair Radhiyallahu Anhum, dengan air Zamzam setelah beliau dibunuh dan tubuhnya terpotong-potong, di hadapan para sahabat dan lainnya, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari hal itu.[10]
8 –Air yang Dipanaskan
8.a – Hukum Air yang Dipanaskan dengan Matahari (Al-Mushammas)
Diperbolehkan bersuci dengan air yang dipanaskan dengan matahari tanpa makruh,[11] dan ini adalah mazhab Hanbali,[12] Zhahiri,[13] salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Maliki,[14] salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i,[15] dan dipilih oleh An-Nawawi,[16] Ibnu Taimiyah,[17] Ibnu Qayyim,[18] dan difatwakan oleh Lajnah Daimah.[19]
Dalil-dalil:
1 – Air yang dipanaskan oleh matahari masih disebut air, sehingga termasuk dalam dalil umum yang menunjukkan kesucian air; tidak keluar dari dalil tersebut kecuali dengan dalil yang lain.[20]
2 – Asal hukum adalah tidak makruh, dan air dipanaskan dengan sesuatu yang suci, sehingga tidak ada alasan untuk makruh.[21]
3 – Tidak ada hadits atau atsar yang sahih tentang makruhnya air yang dipanaskan oleh matahari, dan apa yang diriwayatkan bahwa air tersebut menyebabkan penyakit kusta adalah lemah menurut kesepakatan para ahli hadits.[22]
8.b – Air yang Dipanaskan dengan Sesuatu yang Suci
Bersuci dengan air yang dipanaskan dengan sesuatu yang suci adalah sah.
Dalil Atsar
1 – Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwa beliau berwudhu dengan air panas dan mandi dengannya.”
2 – Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Bahwa beliau berwudhu dengan air panas.”
3 – Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Tidak masalah mandi dan berwudhu dengan air panas.”
Dalil Ijma’
Ijma’ ini dinukil oleh Ibnu Taimiyah.[23]
8.c – Air yang Dipanaskan dengan Sesuatu yang Najis
Jika air dipanaskan dengan sesuatu yang najis dan tidak berubah sifatnya, maka air tersebut tetap suci.
Dalil dari Ijma’:
Ijma’ para ulama tentang hal ini, dan yang menukil ijma’ ini adalah Ibnu Taimiyah.[24]
9 – Bersuci dengan Air yang Haram
Bersuci dengan air yang haram (seperti air yang dirampas atau dicuri) adalah sah, meskipun berdosa.
Ini adalah mazhab mayoritas: Hanafi,[25] Maliki,[26] dan Syafi’i.[27]
Dalam hal ini terdapat kaidah: jika larangan tidak berkaitan dengan zat yang dilarang, maka tidak menyebabkan batal.
Dan dalam hal ini, larangan tidak berkaitan dengan zat air yang dirampas, tetapi larangan terhadap perampasan secara umum, sehingga larangan tersebut tidak membatalkan amal.[28] Wallahua’lam
Karangasem, 24 November 2024
Irfan Nugroho (Semoga Allah segera memberi kesembuhan pada istrinya. Amin)
CATATAN KAKI
[1] Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama sepakat bahwa semua jenis air pada dasarnya adalah suci dan menyucikan yang lain, kecuali air laut; karena ada perbedaan pendapat yang tidak umum di kalangan ulama terdahulu,” (Bidayat al-Mujtahid: 1/23).
[2] Asy-Syaukani berkata dalam kitab ‘NailulAutar (1/23): ‘Sanadnya lurus, dan Ahmad Syakir mensahihkan sanadnya dalam tahqiq ‘Musnad Ahmad’ (2/19), dan Ibnu Baz menilai sanadnya Jawwad dalam ‘Hasyiah Bulughul Maram’ (466), dan Al-Albani menilai sanadnya Hasan dalam ‘Tamamul Minnah’ (46).
[3] Ibnu Baz berkata: “…Demikianlah air Zamzam, air yang agung dan diberkahi, dan tidak ada masalah dalam berwudu dengannya, mandi dengannya, dan menghilangkan najis dengannya. Barang siapa yang mengatakan bahwa hal itu makruh di kalangan para ahli fikih, maka pendapatnya lemah dan tidak dapat diterima,” (Fatawa Nur ‘ala al-Darb: 5/306).
[4] Hasyiah al-Thahthawi hal. 16, Hasyiah Ibnu Abidin: 2/625 dan 1/180.
[5] Mawahib al-Jalil karya al-Hattab: 1/64-66), Hasyiah al-Adawi: 1/200), lihat juga: Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah: 62/39.
[6] Al-Majmu’ li an-Nawawi: 1/90,91 dan 2/120, Mughni al-Muhtaj li al-Syarbini: 1/20,333, lihat juga: Al-Hawi al-Kabir li al-Mawardi: 1/167.
[7] Al-Inshaf li al-Mardawi:1/34, Kasyaf al-Qina’ li al-Buhuti: 1/28.
[8] Mughni al-Muhtaj li al-Syarbini: 1/20.
[9] Al-Iqna’ li al-Syarbini: 1/20.
[10] Idem
[11] Dan itu seperti air yang dipanaskan dengan tenaga surya.
[12] Al-Inshaf li Al-Mardawi: 1/32, lihat Al-Syarh Al-Kabir li Ibni Qudamah: 1/9.
[13] Al-Muhalla li Ibni Hazm: 1/210.
[14] Hasyiyah Al-Dasuqi: 1/45, lihat Al-Dzakhirah li Al-Qarafi: 1/170.
[15] Al-Majmu’ li An-Nawawi: 1/87, lihat Al-Umm li As-Syafii: 1/16.
[16] Al-Nawawi berkata, “Pendapat yang lebih kuat menurut dalil adalah bahwa tidak ada larangan secara mutlak. Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Tidak ada dalil yang dapat diandalkan untuk melarangnya. Jika kami katakan ada larangan, itu adalah larangan yang sifatnya tanzih, yang tidak mencegah sahnya taharah, dan terbatas pada penggunaannya di badan dan hilang dengan mendinginkannya menurut pendapat terkuat dari para ulama. Dalam hal ini para dokter lebih mengetahuinya, dan Allah lebih mengetahui,” (Raudhah At-Talibin:: 1/11. Beliau juga berkata, “Air yang dipanaskan dengan matahari tidak ada dalil yang melarang. Tidak ada bukti dari para dokter tentang hal itu. Jadi yang benar adalah tidak ada larangan… Tetapi yang benar adalah yang sesuai dengan dalil dan nash dari As-Syafii yang berkata di dalam Al-Umm, ‘Saya tidak melarang air yang dipanaskan kecuali jika dilarang dari sisi medis… dan mazhab Malik, Abu Hanifah, Ahmad, Daud, dan mayoritas berpendapat bahwa tidak ada larangan, sebagaimana yang dipilih,” (Al-Majmu: 1/87.
[17] Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Umar pernah berkata, “Jangan mandi dengan air yang dipanaskan; karena itu menyebabkan penyakit kusta.” Itu tidak ada dasarnya, karena orang-orang tetap menggunakannya dan tidak diketahui ada yang terkena penyakit kusta. Jika itu benar, tidak ada perbedaan antara air yang dipanaskan secara sengaja dan yang tidak. Jika riwayatnya benar, mungkin Umar mendengar itu lalu melarangnya, seperti Nabi ﷺ melarang penyerbukan pohon kurma, dan berkata, “Saya tidak melihat ada manfaatnya,” lalu beliau bersabda, “Kamu lebih tahu urusan duniamu; karena hal itu kembali kepada kebiasaan,” (Syarh Al-Umdah: 1/81).
[18] Ibnu Qayyim berkata, “Tidak ada hadits atau riwayat yang sahih tentang air yang dipanaskan dengan matahari (itu terlarang), dan tidak ada seorang pun dari dokter terdahulu yang melarangnya, dan mereka tidak mencelanya. Air yang sangat panas melarutkan lemak ginjal,” (Zad Al-Ma’ad: 4/391.
[19] Lajnah Daimah ditanya tentang penggunaan air yang dipanaskan matahari dan pemanas surya, mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui ada dalil yang sahih yang melarang penggunaan air yang dipanaskan dengan matahari,” (Fatawa Lajnah Daimah – Volume I: 5/74).
[20] Al-Muhalla li Ibni Hazm: 1/210
[21] Al-Syarh Al-Kabir li Syamsuddin Ibn Qudamah: 1/9. Kemudian, orang-orang yang mengatakan bahwa penggunaan air yang dipanaskan dengan matahari makruh telah berbeda pendapat mengenai apakah makruhnya itu bersifat syari’ atau medis. Mereka juga berbeda pendapat tentang batasan makruh tersebut, apakah di negara-negara panas, atau pada wadah-wadah yang terbuat dari tembaga dan besi, dan lain-lain. Mereka juga berbeda pendapat tentang syarat niat untuk memanaskan air dengan matahari, dan apakah makruh itu hilang jika air tersebut didinginkan. Semua ketidakpastian dan perbedaan ini menunjukkan ketidakjelasan dasar yang mereka gunakan dalam menetapkan hukum makruh. Lihat: Mawahib Al-Jalil li Al-Hattab: 1/111, Al-Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi: 1/42,43, Hasyiyah Al-Dasuqi: 1/45.
[22] Al-Nawawi berkata, “Hadits yang disebutkan ini lemah menurut kesepakatan para ahli hadits, dan hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari beberapa jalur, dan ia menjelaskan kelemahannya semua. Ada yang menjadikannya hadits palsu. Imam Al-Syafii meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu bahwa dia tidak menyukai mandi dengan air yang dipanaskan oleh matahari, dan berkata bahwa itu menyebabkan penyakit kusta. Ini juga lemah menurut kesepakatan para ahli hadits; karena itu diriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya, dan mereka sepakat untuk melemahkannya dan menjelaskan alasan kelemahannya, kecuali Imam Al-Syafii Rahimahullah yang menguatkannya. Jadi, dari sini bisa dipastikan bahwa air yang dipanaskan matahari tidak ada dasar larangannya, dan tidak terbukti dari para dokter tentang hal itu, jadi yang benar adalah memastikan bahwa tidak ada larangan,” (Al-Majmu’: 1/87). Ibnu Qayyim berkata, “Tidak ada hadits atau riwayat yang sah tentang air yang dipanaskan matahari,(Zad Al-Ma’ad: 4/391, lihat Al-Dzakhirah li Al-Qarafi: 1/170).
[23] Ibnu Taimiyah berkata tentang benda yang suci, yang digunakan sebagai bahan bakar (untuk memanaskan air), “Adapun benda yang suci seperti kayu, tebu, dan duri, tidak berpengaruh (terhadap kesucian air yang dipanaskan dengannya) menurut kesepakatan para ulama,” (Majmu’ Al-Fatawa: 21/72).
[24] Ibnu Taimiyah berkata:, “Adapun sesuatu yang dipanaskan dengan najis tidak menjadi najis menurut kesepakatan para imam, selama tidak ada sesuatu yang menajiskannya,” (Majmu’ Al-Fatawa: 21/69).
[25] Hasyiyah Ibn Abidin: 1/131.
[26] Al-Syarh Al-Kabir Li Al-Dardir: 1/144, Hasyiyah Al-Dasuqi: 1/32.
[27] Al-Majmu’ Li Al-Nawawi: 1/251, Tuhfat Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj wa Hawaasyi Al-Syarwani wa Al-Abadi: 1/224,114.
[28] Al-Furuq li Al-Qarafi:2/85, Al-Syarh Al-Kabir li Syaikh Al-Dardir dan Hasyiyah Al-Dasuqi: 3/54, Al-Syarh Al-Mumti’ li Ibn ‘Uthaymin: 10/186.