Fikih Dorar: Hukum Berobat Kitab Janaiz Bagian 01
Pembaca rahimakumullah, berikut adalah artikel hukum berobat yang kami terjemahkan dari Kitab Janaiz bagian pertama dari Ensiklopedia Fikih Dorar Saniyah. Semoga bermanfaat. Teruskan membaca!
HUKUM BEROBAT
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat[1] menjadi dua pendapat:
A – BEROBAT HUKUMNYA MUBAH
Pendapat pertama: Berobat itu mubah (boleh),[2] dan ini adalah mazhab mayoritas ulama,[3] yaitu Hanafiyah,[4] Malikiyah,[5] dan Hanabilah.[6]
Dalil dari sunnah:
1 – Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi ﷺ yang bersabda:
Allah tidak menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan penyembuhnya, (Sahih Bukhari: 5678).
2 – Dari Jabir Radhiyallahu Anhu dari Nabi ﷺ yang bersabda:
Setiap penyakit ada obatnya. Jika obatnya tepat mengenai penyakit tersebut, maka sembuhlah dengan izin Allah, (Sahih Muslim: 2204).
3 – Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Dalam habbatus sauda’ terdapat penyembuh bagi segala penyakit kecuali as-sam (kematian), (Sahih Bukhari: 5688. Sahih Muslim: 2215).
4 – Dari Ibnu Buhainah Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Nabi ﷺ berbekam saat ihram di tengah kepalanya menggunakan tulang unta, (Sahih Bukhari: 1836. Sahih Muslim: 1203).
5 – Dari Sa’id bin Zaid رضي الله عنه, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
“Cendawan termasuk manna, dan airnya adalah obat untuk mata,” (Sahih Bukhari: 4478. Sahih Muslim: 2049).
6 – Dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Talbinah (sejenis bubur gandum) menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan, (Sahih Bukhari: 5417. Sahih Muslim: 2216).
Kesimpulan dari dalil:
Bahwa hadis-hadis ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap pengobatan dan perawatan, serta membolehkannya.
7 – Dari ‘Auf bin Malik Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan, (Sahih Muslim: 2200).
Kesimpulan dari dalil:
Bahwa perkataan beliau “tidak mengapa” menunjukkan kebolehan.
B – BEROBAT HUKUMNYA MUSTAHAB
Pendapat kedua: Berobat itu dianjurkan (sunnah), dan ini adalah mazhab Syafi’iyah,[7] mayoritas salaf dan khalaf,[8] serta pendapat Ibnu Baz.[9]
Dalil dari Sunah
1 – Dari Usamah bin Syarik Radhiyallahu Anhu yang berkata:
“Orang-orang Arab berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat? Beliau menjawab: ‘Iya, wahai hamba Allah, berobatlah kalian, karena Allah tidak meletakkan suatu penyakit melainkan Allah juga meletakkan penyembuhnya, atau obatnya, kecuali satu penyakit.’ Mereka bertanya: ‘Apa itu?’ Beliau menjawab: ‘Kematian,'” (Sunan Abu Dawud: 3855. Sunan At-Tirmizi: 2038. Sunan Ibnu Majah: 3436. Musnad Ahmad: 18454).
2 – Dari Jabir Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Aku memiliki paman yang meruqyah karena sengatan kalajengking, lalu Rasulullah ﷺ melarang ruqyah. Ia mendatangi beliau dan berkata: Wahai Rasulullah, engkau melarang ruqyah, padahal aku meruqyah karena sengatan kalajengking. Maka beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang mampu memberi manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia melakukannya,'” (Sahih Muslim: 2199).
3 – Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata:
‘Saudaraku sakit perut (diare).’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Berilah ia madu.’ Ia pun memberinya madu.
Lalu datang lagi dan berkata, ‘Aku telah memberinya madu, tetapi justru semakin parah diare-nya.’ Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya sebanyak tiga kali.
Kemudian pada yang keempat, beliau bersabda, ‘Berilah ia madu.’ Orang itu pun berkata, ‘Aku telah memberinya madu, tetapi justru semakin parah diare-nya.’
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
Allah benar, sedangkan perut saudaramu yang berbohong. Maka orang itu kembali memberi madu, lalu saudaranya pun sembuh, (Sahih Bukhari: 5716. Sahih Muslim: 2217).
4 – Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Di dalam habbatus sauda’ terdapat penyembuh untuk setiap penyakit, kecuali as-sam (kematian), (Sahih Bukhari: 5688. Sahih Muslim: 2215).
5 – Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang berkata:
Nabi ﷺ berbekam ketika sedang ihram, (Sahih Bukhari: 5695. Sahih Muslim: 1202)
Kesimpulan dari dalil:
Pertama: Bahwa Nabi ﷺ memerintahkannya, menganjurkannya, dan melakukannya, sebagaimana terdapat dalam teks-teks sebelumnya, yang menunjukkan bahwa itu dianjurkan.
Kedua: Sesungguhnya orang yang sakit biasanya mengalami sesak di dada (tertekan), sehingga ia tidak dapat melakukan ketaatan sebagaimana mestinya. Ketika Allah memberinya kesembuhan, dadanya akan lapang dan jiwanya akan kembali tenang, sehingga ia dapat menjalankan ibadah yang seharusnya. Maka, obat menjadi sarana untuk tujuan lain, sehingga dianjurkan (disunnahkan).
Ketiga: Dalam berobat terdapat pemanfaatan dari sebab-sebab yang bermanfaat yang diciptakan Allah, dan Dia telah menjadikannya sebagai sunnah (aturan) dalam kehidupan hamba-hamba-Nya. Wallahua’lam
Karangasem, 5 November 2024
Irfan Nugroho (Semoga Allah mengampuni, merahmati, dan menempatkan ibunya di surga. Aamiin).
CATATAN KAKI
[1] Disebutkan dalam keputusan Majelis Fikih Islam bahwa hukum asal pengobatan adalah diperbolehkan (masyrū‘), tetapi hukum pengobatan berbeda-beda tergantung pada situasi dan individu.
Hukum berobat adalah wajib jika meninggalkannya dapat menyebabkan hilangnya nyawa, hilangnya salah satu anggota tubuh, atau kecacatan, atau jika penyakit tersebut dapat menular ke orang lain seperti penyakit menular.
Berobat menjadi sunah (mandūb) jika meninggalkannya dapat menyebabkan kelemahan tubuh, tanpa menyebabkan risiko seperti dalam kondisi pertama.
Berobat menjadi mubah (dibolehkan) jika tidak termasuk dalam dua kondisi sebelumnya; dan berobat menjadi makruh jika ada kekhawatiran pengobatan tersebut akan menyebabkan komplikasi yang lebih parah daripada penyakit yang ingin dihilangkan. Lihat: Majalah Majma‘ (Edisi: 7) (3/563).
[2] Al-Marghinani berkata, “Tidak masalah dengan suntikan yang dimaksudkan untuk pengobatan; karena pengobatan itu diperbolehkan secara ijma, (Al-Hidayah: 4/381).
Al-Buhuti berkata, “Tidak wajib berobat meskipun diduga bermanfaat tetapi diperbolehkan secara ijma,” (Kasyaf al-Qina: 2/76).
Al-San’ani berkata, “Dalam hal ini diperbolehkan berobat dengan mengeluarkan darah dan lainnya, dan ini adalah ijma,” (Subulus Salam: 3/80).
Ibnu Taimiyah dan Al-Syarbini menyebutkan ijma’ tentang tidak wajibnya berobat. Ibnu Taimiyah berkata, “Saya tidak mengetahui ada pendahulu yang mewajibkan berobat, tetapi banyak dari orang-orang yang memiliki keutamaan dan pengetahuan lebih memilih untuk meninggalkannya sebagai keutamaan dan pilihan,” (Majmu’ al-Fatawa: 21/564).
Al-Syarbini berkata, “Qadhi ‘Iyadh menyebutkan ijma’ tentang tidak wajibnya berobat,” (Mughni al-Muhtaj: 1/357).
[3] Ibnu Abdil Barr berkata, “Dan mayoritas ulama memperbolehkan pengobatan dan ruqyah,” (At-Tamhid: 5/279).
Ibnu Al-Hajj berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan imam dari kalangan ahli fiqih tentang diperbolehkannya pengobatan, ruqyah, dan minum obat,” (Al-Madkhal: 4/120).
[4] Al-Hidayah karya Al-Marghinani: 4/381, Al-Binayah karya Al-‘Aini: 12/267.
[5] Hasyiah Al-Adawi ‘ala Kifayah At-Talib Ar-Rabbani: 2/490. Lihat juga: Al-Ma’unah ‘ala Madzhab ‘Alim Al-Madinah karya Qadhi Abdul Wahab: 1/1731, Asy-Syarh As-Saghir karya Ad-Dardir, dengan Hasyiah As-Sawi: 4/770.
[6] Al-Mubdi’ karya Burhanuddin Ibnu Muflih: 2/194, Kasyaf al-Qina’ karya Al-Buhuti: 2/76.
[7] Al-Majmu’ karya An-Nawawi: 5/106, Mughni Al-Muhtaj karya Asy-Syarbini: 1/357.
[8] Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim: 14/191, Tahrir At-Tathrib karya Al-Iraqi: 8/177, Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah: 21/564.
[9] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb karya Ibnu Baz: 4/23, 21/437.