Romantisme Rasulullah ﷺ bersama Istrinya
Pengantar
Segala puji hanya milik Allah. Selawat dan salam kepada Nabi ﷺ, tidak ada nabi lagi setelahnya, juga kepada keluarganya dan sahabatnya semuanya.
Sudah banyak diketahui bahwa Nabi ﷺ menikah dengan banyak wanita karena sebab kemasyarakatan, juga sebagai sarana penetapan undang-undang syariat, juga sebagai siasat politik. Kita tidak akan menyebutkannya di sini.
Tetapi dari pernikahan kenabian beliau ini kiya bisa tahu akhlak Nabi ﷺ bersama para istrinya.
Karena tabiat sejati seorang laki-laki adalah ketika dia berinteraksi dengan istrinya di rumah. Lalu bagaimana akhlak Nabi ﷺ bersama para istri beliau?
Bagaimana beliau berinteraksi dengan mereka, mengarahkan mereka, serta berbuat baik kepada mereka?
Bagaimana beliau memberikan rasa nyaman pada mereka, juga bagaimana beliau mencintai mereka?
Bagaimana sikap beliau ketika ada istrinya yang bersalah, dan bagaimana sikap beliau ketika istrinya cemburu?
“Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ikut membantu pekerjaan rumah isterinya?” Aisyah menjawab; “Beliau suka membantu pekerjaan rumah isterinya, apabila tiba waktu shalat, maka beliau beranjak untuk melaksanakan shalat,” [Sahih Bukhari].
Seorang laki-laki bertanya kepada Aisyah; apakah Rasulullah juga melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumahnya? Aisyah menjawab; ‘Ya, Rasulullah ﷺ juga sering mengesol sandalnya, dan menjahit pakaiannya serta beliau melakukan sesuatu di rumahnya sebagaimana salah seorang kalian lakukan di rumahnya, [Musnad Ahmad. Al-Albani: Sahih].
Inilah keadaan sosok penghulu seluruh zaman, semoga selawat dan salam terlimpah kepada beliau. Beliau menjalani hidup seperti orang-orang miskin pada umumnya. Beliau memiliki sifat penyayang kepada para istrinya. Beliau juga membantu pekerjaan para istrinya.
Beliau tidak membebani para istrinya dengan perkara yang tidak mampu dilakukan oleh mereka. Sebaliknya, beliau adalah sosok yang suka menolong, baik cara bergaulnya, luas kesabarannya, senantiasa berseri-seri wajahnya, serta sosok yang bisa ridha dengan yang sedikit.
Jika beliau bertanya kepada istrinya, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Lalu mereka menjawab, “Tidak,” maka beliau akan diam dan tidak marah. Maka di hari itu beliau akan menjalani rasa lapar, tetapi tidak nampak padanya sikap penolakan atau kebosanan. Masya Allah.
Ibnu Katsir berkata di dalam Tafsirnya:
Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Nabi ﷺ dalam mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu gembira, sering bermain dengan istrinya, dan bersikap lemah lembut kepada mereka, memberi mereka kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau.
Hingga pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu Anha sambil bercengkerama dan berkasih mesra dengannya. Ibunda Aisyah berkata:
Ada kalanya Rasulullah menang atas diriku dan ada kalanya aku yang menang.
Demikian itu terjadi sebelum aku bertubuh gemuk.
Setelah aku bertubuh gemuk, maka beliau bisa berlari lebih cepat daripadaku seraya berkata:
‘Kali ini sebagai balasan dari kekalahan yang tadi.
Rasulullah ﷺ selalu mengumpulkan semua istrinya setiap malam di dalam satu rumah yang merupakan malam giliran beliau. Lalu adakalanya beliau makan malam bersama-sama mereka.
Setelah itu masing-masing istri kembali ke tempatnya sendiri-sendiri (kecuali yang digilir oleh beliau ﷺ).
Nabi ﷺ tidur dengan salah seorang istrinya dalam satu kemul,
Dan beliau terlebih dahulu meletakkan kain selendangnya, lalu tidur dengan memakai kain sarung.
Nabi ﷺ bila telah melakukan salat Isya dan masuk ke dalam rumahnya, terlebih dahulu begadang sebentar bersama keluarganya sebelum tidur; hal itu beliau lakukan untuk mengakrabkan diri dengan mereka.
Maka benar firman Allah taala:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian,” [QS Al-Ahzab 21].
Menanamkan suka cita, kesenangan, dan kebahagiaan
Gambaran tentang romantisme Nabi ﷺ kepada istrinya, kata Syaikh Ahmad bin Ustman Al-Mazid, adalah:
Menanamkan suka cita, kesenangan, dan kebahagiaan.
Beliau menulis:
Dahulu Nabi ﷺ adalah sosok yang bersemangat dalam membantu, menolong, dan membahagiaan orang-orang di sekitarnya, khususnya istri-istri beliau. Sungguh, istri-istri beliau adalah manusia yang paling beruntung yang bisa mendapat manfaat dari kharisma dan kebaikan Nabi Muhammad ﷺ.
HADITS 1
Ibunda Aisyah Radhiyallahu Anha berkata:
Bahwa Abu Bakar Radhiyallahu Anhu masuk ke rumah Aisyah dan saat itu di dalam rumah beliau ada dua budak wanita di Hari Mina yang sedang memukul rebana. Padahal kala itu Rasulullah ﷺ sedang berselimut kainnya. Abu Bakar pun memarahi kedua budak yang memukul rebana tersebut. Kemudian Rasulullah ﷺ menyingkap kain dari wajahnya, lalu bersabda:
“Biarkan mereka, wahai Abu Bakar. Karena setiap kaum memiliki hari raya.”
Ibunda Aisyah berkata:
“Waktu itu adalah hari-hari Mina,” (Sahih Bukhari: 987).
PELAJARAN
Di dalam hadis ini terdapat keterangan tentang baiknya akhlak Nabi ﷺ serta mulianya cara beliau bergaul dengan keluarganya. Maka hendaknya orang Islam meneladani hal itu serta mengikuti Nabi ﷺ.
HADITS 2
Kemudian Syaikh menulis:
Contoh lain tentang menanamkan suka cita, kebahagiaan, serta kesenangan, hal ini bisa terlihat dari suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata:
Aku pernah menemani Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saat itu aku masih muda dan badanku belum gemuk.
Nabi ﷺ berkata kepada para sahabat: Silahkan jalan duluan. Maka para sahabat pun berjalan mendahului Nabi ﷺ.
Lalu Nabi ﷺ berkata kepadaku: Kemarilah, aku akan mengajakmu balap lari. Maka aku pun memenuhi ajakan tersebut, kemudian aku berhasil mengalahkan Nabi ﷺ, dan beliau pun terdiam saat itu.
Sampai pada suatu ketika badanku sudah mulai gemuk, dan aku pun lupa entah dalam perjalanan kemana saat itu.
Beliau berkata kepada para sahabat: Silahkan jalan duluan. Maka para sahabat pun berjalan mendahului Nabi ﷺ.
Lalu beliau berkata: Kemarilah, aku akan kembali mengajakmu balap lari. Maka aku pun memenuhi ajakan tersebut, kemudian beliau mampu mengalahkanku.
Beliau tertawa dan berkata: Inilah pembalasanku,” [Musnad Ahmad dan Sunan Abu Dawud. Al-Albani: Sahih).
HADITS 3
Contoh lain tentang sikap suami yang bisa menanamkan kebahagiaan, keceriaan, dan kesenangan pada kehidupan istri adalah seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata:
Rasulullah ﷺ memiliki seorang tetangga asal Persia. Dia adalah orang yang pandai memasak. Maka dia membuatkan makanan untuk Rasulullah ﷺ. Kemudian dia datang (kepada Rasulullah) dan mengundang beliau ﷺ (untuk datang dan makan di rumahnya). Maka Nabi ﷺ bertanya, “Lha yang ini? (Maksudnya Aisyah diundang tidak?). Orang tersebut menjawab, “Tidak.”
Maka Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Tidak (Kalau Aisyah tidak diundang, beliau ﷺ tidak mau datang).” Kemudian orang tersebut mengulangi undangannya.
Maka Nabi ﷺ bertanya, “Lha yang ini? (Maksudnya Aisyah diundang tidak?). Orang tersebut menjawab, “Tidak.”
Maka Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Tidak (Kalau Aisyah tidak diundang, beliau ﷺ tidak mau datang).” Kemudian orang tersebut mengulangi undangannya.
Maka Nabi ﷺ bertanya, “Lha yang ini? (Maksudnya Aisyah diundang tidak?). Orang itu pun menjawab, “Iya.”
Maka Rasulullah pergi bersama Aisyah ke rumah tetangga itu,” [Sahih Muslim].
Situasi semacam ini tidak akan bisa dilupakan oleh seorang perempuan. Pengalaman seperti ini akan terus menjadi sumber kebahagiaan, kapan saja ketika sang istri mengingatnya, karena ada unsur apresiasi (penghargaan), kebaikan, perhatian, perlakuan yang baik, serta pertemanan yang baik.
Mawaddah & Rahmah
Termasuk romantisme Nabi ﷺ kepada para istrinya adalah:
“Mencintai dan menyayangi.”
Allah ta’ala berfirman:
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan sayang, (QS Ar-Ruum: 21).
HADITS 4
Syaikh menulis:
Gambaran tentang sifat kasih dan sayangnya Nabi ﷺ kepada istri-istrinya begitu banyak, di antaranya ketika beliau ﷺ masuk ke rumah Sofiyah dan saat itu ternyata Sofiyah sedang menangis. Maka Nabi ﷺ berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Sofiyah pun berkata, “Hafsah sudah berkata kepada saya bahwa saya ini anak seorang Yahudi.”
Maka Rasul ﷺ pun berkata kepada Sofiyah, “Sesungguhnya kamu itu anak seorang Nabi (Musa), kemudian pamanmu juga seorang Nabi (Harun), dan kamu juga berada di bawah perlindungan seorang Nabi (Muhammad ﷺ). Lalu apa yang bisa dia (Hafsah) banggakan atas dirimu?”
Maka beliau ﷺ pun bersabda kepada Hafsah, “Bertakwalah, wahai Hafsah,” [Jami At-Tirmizi: 3894].
Maksudnya, tinggalkan perkataan seperti itu, karena perkataan seperti itu termasuk kebiasaan jahiliyah.
Mengomentari hadis di atas, Syaikh menulis:
Perhatikan, bagaimana Nabi ﷺ mengubah penghinaan menjadi pemuliaan.
Fakta bahwa Sofiyah Radhiyallahu Anha adalah keturunan Yahudi bukanlah alasan untuk meremehkan beliau.
Karena beliau sudah beriman kepada Allah dan RasulNya, juga sudah menikah dengan Rasulullah ﷺ, lalu beliau menjadi Ummul Mukminin (Ibunya Orang-orang yang Beriman).
Disebutkan pula bahwa Sofiyah memiliki hubungan keluarga dengan dua orang Nabi dari kalangan Bani Israil, yaitu Harun dan Musa Alaihimas Salam. Maka dari situ, Nabi ﷺ bersabda, “Apa yang bisa dibanggakan oleh Hafsah?” sebagai ungkapan yang menjadi pelipur lara bagi Sofiyah.
Syaikh menulis:
Di antara gambaran kasih dan sayangnya Nabi ﷺ kepada istrinya adalah suatu percakapan yang sangat indah antara Nabi ﷺ dengan Aisyah.
HADITS 5
Nabi ﷺ bersabda kepadanya,
“Sesungguhnya aku (Nabi ﷺ) bisa tahu kapan kamu marah dan kapan kamu senang.”
Ibunda Aisyah pun berkata, “Bagaimana Anda bisa mengetahuinya, Ya Rasulullah?”
Beliau ﷺ bersabda, “Sesungguhnya jika kamu sedang senang, kamu akan berkata, ‘Demi Rab Muhammad.’ Tetapi jika kamu sedang marah, kamu akan berkata, ‘Tidak! Demi Rab Ibrahim.’”
Maka saya (Ibunda Aisyah) pun berkata, “Benar. Ketika aku marah, aku berusaha untuk tidak menyebut namamu,” (Sahih Bukhari: 6078).
HADITS 6
Syaikh menulis:
Dan lihatlah bagaimana Nabi ﷺ berinteraksi dengan beliau (Aisyah) ketika beliau sedang menstruasi. Sudah kita ketahui bersama bahwa seorang wanita ketika sedang haid, dia dalam kondisi mudah marah dan psikologisnya juga berubah. Dan ini butuh upaya penyesuaian dari suami, dengan lebih menunjukkan rasa cinta, kasih sayang, perhatian, dan lebih berbuat baik kepadanya.
Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Saya pernah minum ketika sedang haid. Kemudian saya berikan gelas itu kepada Nabi ﷺ. Maka beliau meletakkan mulut beliau di bagian gelas tersebut tempat saya minum. Kemudian saya juga pernah menggigit daging. Ketika itu saya sedang haid. Lalu saya memberikan daging bekas gigitan saya kepada Nabi ﷺ. Maka beliau meletakkan mulut beliau di bagian daging tersebut tempat saya menggigit sebelumnya,” (Sahih Muslim: 282).
Syaikh menulis:
Apakah ada sikap seperti ini pada orang yang tidak sabar dengan istrinya ketika menstruasi. Mereka menganggap sang istri telah berbuat kejahatan (padahal menstruasi adalah siklus alamiah), sehingga mereka merasa layak untuk dijauhi atau disingkirkan!!
HADITS 7
Syaikh menulis:
Di antara gambaran kasih dan sayang di masa kenabian adalah seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu yang berkata:
“Kami sampai di Khaibar ketika Allah memberi kemenangan kepada kami untuk bisa menaklukkan benteng tersebut. Maka aku melihat kala itu Nabi ﷺ sedang duduk di atas satu lutut beliau, kemudian Sofiyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau ﷺ sampai Sofiyah bisa duduk di atas unta,” (Sahih Bukhari: 4211).
Inilah satu dari sekian perilaku kasih dan sayang yang paling agung, di mana beliau begitu memperhatikan bahwa wanita itu memang lemah dan lembut, maka beliau ﷺ mengizinkan istrinya Sofiyah untuk menaruh kakinya menginjak lutut beliau yang mulia, sebagai pijakan bagi Sofiyah agar bisa duduk di atas untanya. Masya Allah.
Sofiyah juga sering mengunjungi beliau ﷺ ketika beliau sedang itikaf di 10 hari terakhir Ramadan, kemudian beliau berbincang dengannya, kemudian berdiri bersamanya, keluar dari tempat itikaf bersamanya untuk mengantarnya pulang.
Adil kepada para Istri
Romantisme Nabi ﷺ kepada para istrinya adalah dengan bersikap adil kepada para istrinya. Syaikh berkata:
Sungguh, keadilan adalah fondasi yang di atasnya dibangun kehidupan pernikahan di rumah Nabi ﷺ.
Beliau menerapkan fondasi ini dengan sangat tegas.
Beliau terbiasa membagi di antara istri-istrinya apa saja yang bisa beliau bagi, seperti jadwal menginap, nafkah, pergaulan yang baik, dengan pembagian yang sempurna, baik ketika dalam perjalanan atau mukim.
Beliau (Nabi ﷺ) bermalam di masing-masing istrinya satu malam. Beliau menafkahi masing-masing istrinya dengan apa yang ada di tangan beliau dengan pembagian yang adil.
Dan beliau membangun untuk masing-masing istrinya satu kamar khusus sebagai rumahnya.
Jika beliau hendak melakukan safar, beliau akan melakukan undian di antara istri-istri beliau. Beliau akan safar dengan istri yang undiannya keluar.
Ketika beliau menjalankan Haji Wada, dan itu hanya satu kali dalam hidup beliau, beliau mengajak semua istrinya. Dengan begitu, keadilan di antara mereka bisa terwujud secara hakiki.
Termasuk kesempurnaan sifat adil beliau adalah beliau terus saja berbuat adil meskipun dalam kondisi sakit menjelang mangkat.
HADITS 8
Beliau meminta uzur/maaf kepada Allah atas apa yang beliau tidak mampu adil di antara istri-istrinya, yaitu dalam hal kecenderungan hati. Itulah mengapa beliau berdoa:
“Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku mampu,” [Sunan Abu Dawud & Jami At-Tirmizi].
HADITS 9
Di antara situasi yang di dalamnya keadilan Nabi ﷺ terhadap istri-istrinya nampak adalah apa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah bahwa beliau membawa makanan di dalam mangkuk kepada Nabi ﷺ dan para sahabatnya.
Maka Aisyah Radhiyallahu Anha datang dengan memakai jubah sambil membawa fihrun atau batu dan memecah mangkuk tersebut dengan batu tadi.
Maka Nabi ﷺ menyatukan mangkuk yang pecah tadi lalu bersabda:
“Ibu kalian sedang cemburu.”
Kemudian beliau mengambil mangkuk milik Aisyah dan memberikannya kepada Ummu Salamah, lalu beliau memberikan mangkuk milik Ummu Salamah yang pecah kepada Aisyah, [Sahih Bukhari].
Inilah cerminan akhlak Nabi ﷺ.
Hadits ini menunjukkan bagusnya akhlak Nabi ﷺ kepada istri-istri beliau.
Beliau tidak menuntut haknya dipenuhi.
Beliau menghormati rasa cemburu yang merupakan sifat pembawaan wanita.
Beliau menjelaskan hal itu kepada para sahabat dengan bersabda:
“Ibu kalian sedang cemburu.”
Beliau tidak memeluknya, tidak pula memukulnya, tidak pula mencelanya, tetapi saat itu juga, beliau mengadili dengan adil untuk kejadian ini.
Maka beliau memberikan piring yang utuh kepada Ummu Salamah, lalu piring yang pecah diberikan kepada Aisyah.
Mengingatkan Istri untuk Ingat kepada Allah
Di antara bentuk romantisme Nabi ﷺ kepada para istrinya, kata Syaikh Ahmad bin Ustman Al-Mazid, adalah:
Mengingatkan para istri untuk ingat kepada Allah ta’ala.
Nabi ﷺ senantiasa mengingatkan istri-istrinya agar suka berzikir kepada Allah azza wa Kalla. Beliau mendorong mereka untuk taat kepada Alllah, serta memperingatkan mereka agar tidak lalai dari Allah apalagi bermaksiat kepadaNya.
HADITS 10
Di dalam hadis dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha yang berkata:
Suatu malam Rasulullah bangun dengan agak gusar dan mengucapkan:
“Subhanallah, perbendaharaan apa lagi yang Allah turunkan?
Dan fitnah apa lagi yang Allah turunkan?
Siapa yang mau membangunkan penghuni kamar-kamar (maksudnya isterinya) untuk shalat?
Betapa banyak orang berpakaian di dunia namun di akherat telanjang, [Sahih Bukhari: 7069].
Dari Ibunda Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata:
“Nabi ﷺ bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan ber’ibadah dan membangunkan keluarga beliau,” [Sahih Bukhari].
Dari Zainab bin Jahsyi Radhiyallahu Anhunna yang berkata:
Nabi ﷺ datang kepadanya dengan gemetar sambil berkata:
“Laa ilaaha illallah, celakalah bangsa Arab karena keburukan yang telah dekat, hari ini telah dibuka benteng Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”.
Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan telunjuknya dengan jari sebelahnya.
Zainab binti Jahsy berkata, aku bertanya;
“Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak orang-orang yang shalih?”
Beliau menjawab, “Ya, benar jika keburukan telah merajalela,” [Sahih Bukhari].
Setia
Romantisme Nabi ﷺ kepada istrinya adalah bersifat setia, atau Al-Wafa, yang artinya loyal atau setia. Syaikh berkata:
Dinamika rumah tangga Nabi ﷺ itu dipenuhi dengan sifat setia, adanya pengakuan dari beliau tentang kecantikan pasangannya, serta kebiasaan beliau mengingat-ingat kebaikan pasangannya, meskipun beliau sedang dalam kondisi marah.
Hal ini ditunjukkan dengan setianya Nabi ﷺ kepada istrinya yang pertama, Khadijah, di mana beliau tidak menikah lagi kecuali setelah mangkatnya Ibunda Khadijah.
Khadijah adalah wanita yang berdiri di sisi beliau ﷺ, menenangkan beliau dengan dirinya dan juga dengan hartanya. Nabi ﷺ mengingat masa-masa itu, sampai-sampai Ibunda Aisyah berkata:
“Tidaklah aku cemburu kepada istri-istri Nabi ﷺ seperti cemburunya aku kepada Khadijah, karena saking seringnya Rasulullah ﷺ menyebut-nyebut dirinya dan memuji-muji kebaikannya,” [Sahih Bukhari].
Ibunda Aisyah Radhiyallahu Anha berkata:
“Dulu, apabila Rasulullah ﷺ menyembelih kambing, beliau akan berkata, ‘Kirimkan kepada teman-temannya Khadijah.’”
Maka Ibunda Aisyah sedikit marah dan berkata, “Khadijah???”
Nabi ﷺ pun bersabda:
“Sungguh, aku telah diberi rezeki (dari Allah) berupa cintanya (Khadijah),” [Sahih Muslim].
Mendidik dan Mengajari
Di antara bentuk romantisme Nabi bersama istri-istri beliau adalah:
Memberikan tarbiyah dan pengajaran.
Syaikh berkata:
Terjemahan di sini
Terjemahan di sini
Membatasi diri dalam Beribadah, tidak Berlebihan
Terjemahan di sini
Terjemahan di sini
Terjemahan di sini
Terjemahan di sini
Mendisiplinkan dan Bersikap Tegas
Di antara bentuk romantisme Nabi ﷺ kepada istri-istri beliau adalah:
Bersikap disipling dan tegas.
Syaikh berkata:
Nabi ﷺ bersikap tegas terhadap istri-istri beliau. Hal ini menunjukkan bahwa sifat penyayang beliau kepada mereka, juga baiknya pergaulan beliau dengan mereka, bukan karena beliau itu orang yang lemah atau tidak mampu dalam mendisiplinkan istri dan bersikap tegas kepada mereka. Sikap beliau yang disiplin dan tegas ini menunjukkan akhlak beliau yang baik, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala:
“Sesungguhnya engkau memang memiliki akhlak yang agung,” [QS Al-Qalam: 4].
Di antara bentuk ketegasan Nabi adalah beliau memisah semua istrinya serta menghajer mereka selama satu bulan penuh.
Itu terjadi setelah beliau diminta oleh mereka untuk memberi nafkah di luar kemampuan beliau. Maka turunlah ayat:
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, kemarilah untuk kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu,” [QS Al-Ahzab: 28-29].
Allah menyuruh Nabi agar memberi pilihan kepada istri-istri beliau, maka beliau pun memulai dengan Aisyah. Beliau berkata kepadanya:
“Wahai Aisyah, aku beri kamu satu hal, yang kamu tidak usah terburu-buru dalam menentukannya kecuali kamu sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan ayahmu.”
Aisyah berkata, “Apa itu, ya Rasulullah?” Maka Rasulullah pun membacakan ayat tersebut.
Aisyah pun berkata, “Apakah boleh jika Anda yang berkonsultasi dengan ayah saya, ya Rasulullah?”
“Saya memilih Allah dan RasulNya, serta negeri akhirat.”