Fiqih

Fikih Dorar: Tanda Kematian, Mati Otak, dan Melepas Alat Penunjang Hidup

Pembaca rahimakumullah, apa tanda kematian? Apa hukum mati otak? Bagaimana hukum melepas alat penunjang hidup? Inilah terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah Kitab Salat > Bab Janaiz > Hukum Orang Sakit dan Sekarat > Hukum Orang Sekarat > Tanda Kematian, Mati Otak, dan Melepas Alat Penunjang Hidup. Semoga bermanfaat!

عَلَامَاتُ الْمَوْتِ، وَحُكْمُ الْمَوْتِ الدِّمَاغِيِّ، وَإِيقَافُ أَجْهِزَةِ الْإِنْعَاشِ

Tanda Kematian, Hukum Mati Otak, dan Melepas Alat Penunjang Hidup

Pembaca rahimakumullah, pada pertemuan kali ini, kita akan membahas Tanda Kematian, Mati Otak, dan Melepas Alat Penunjang Hidup.

عَلَامَاتُ الْمَوْتِ

Tanda Kematian

مِنْ الْعَلَامَاتِ الدَّالَّةِ عَلَى الْمَوْتِ: اسْتِرْخَاءُ الْقَدَمَيْنِ، وَمَيْلُ الْأَنْفِ، وَانْخِسَافُ الصُّدْغَيْنِ، وَغَيْبُوبَةُ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ

Di antara tanda-tanda yang menunjukkan kematian[1] adalah: kedua kaki melemas, hidung miring, pelipis menurun, warna hitam pada kedua mata hilang, dan yang lainnya.[2]

الْمَوْتُ الدِّمَاغِيُّ

Mati Otak

تَعْرِيفُ الْمَوْتِ الدِّمَاغِيِّ

Definisi Mati Otak

هُوَ تَلَفٌ دَائِمٌ فِي الدِّمَاغِ، يُؤَدِّي إِلَى تَوَقُّفٍ دَائِمٍ لِجَمِيعِ وَظَائِفِهِ؛ بِمَا فِي ذَلِكَ جِذْعُ الدِّمَاغِ

Mati Otak adalah kerusakan permanen pada otak, yang menyebabkan berhentinya semua fungsi otak secara permanen; termasuk batang otak.[3]

حُكْمُ الْمَوْتِ الدِّمَاغِيِّ

Hukum Mati Otak

لَا يُعَدُّ مَوْتُ الدِّمَاغِ مَوْتًا شَرْعِيًّا تَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمَوْتِ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ بَازٍ وَبِهُ صَدَرَ قَرَارُ الْمَجْمَعِ الْفِقْهِيِّ الْإِسْلَامِيِّ، وَهُوَ قَرَارُ هَيْئَةِ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ بِالْمَمْلَكَةِ الْعَرَبِيَّةِ السُّعُودِيَّةِ

Kematian otak tidak dianggap sebagai kematian yang sah menurut syariat[4] yang mengakibatkan berlakunya hukum-hukum kematian. Ini adalah pendapat Ibnu Baz[5] dan dengan itu dikeluarkan keputusan Majelis Fikih Islam,[6] dan ini adalah keputusan Dewan Ulama Senior (Haiah Kibaril Ulama) di Kerajaan Arab Saudi.[7]

وَذَلِكَ لِلْآتِي:

Argumentasi:

أَنَّ الْأَصْلَ حَيَاتُهُ؛ فَلَا يَعْدِلُ عَنْهُ إِلَّا بِيَقِينٍ

1 – Pada dasarnya dia masih hidup; maka tidak boleh dianggap mati kecuali dengan keyakinan.[8]

أَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يُعَدُّ مَيِّتًا لِتَوَقُّفِ الْحَيَاةِ عَنْ بَعْضِ أَجْزَاءِ جِسْمِهِ، بَلْ يُعَدُّ مَيِّتًا إِذَا تَحَقَّقَ مَوْتُهُ كُلِّيًّا

2 – Seseorang tidak dianggap mati hanya karena kehidupan berhenti pada beberapa bagian tubuhnya, tetapi dianggap mati jika kematiannya telah dipastikan secara keseluruhan.[9]

أَنَّ جِسْمَ مَيِّتِ الدِّمَاغِ- حَالَ كَوْنِهِ تَحْتَ الْإِنْعَاشِ- يَقْبَلُ الْغِذَاءَ وَالدَّوَاءَ، وَيَظْهَرُ عَلَيْهِ آثَارُ النُّمُوِّ، وَهَذَا مِنْ صِفَاتِ الْجَسَدِ الْحَيِّ

3 – Bahwa tubuh seseorang yang mati otak—saat berada di bawah alat penunjang hidup—dia menerima makanan dan obat, serta menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan, yang merupakan sifat tubuh yang hidup.[10]

أنَّ مَيِّتَ الدِّماغِ لا يَزالُ قَلْبُهُ يَضْرِبُ، ونَفَسُهُ يَتَرَدَّدُ آليًّا، ولَوْ كانَ بِفِعْلِ الأَجْهِزَةِ فَقَطْ لَاسْتَمَرَّ هذا الفِعْلُ، لَكِنَّ المُشاهَدَ أنَّ القَلْبَ والتَّنَفُّسَ يَتَوَقَّفانِ بَعْدَ فَتْرَةٍ، وهذا دَليلٌ على بَقاءِ شَيْءٍ مِنَ الحَياةِ.

4 – Bahwa seseorang yang mati otak jantungnya masih berdetak, dan napasnya masih berulang secara otomatis, meskipun hanya karena perangkat. Namun, yang diamati adalah jantung dan pernapasan berhenti setelah beberapa waktu, yang menunjukkan adanya sisa kehidupan.[11]

إِيقَافُ أَجْهِزَةِ الْإِنْعَاشِ

Melepas Alat Penunjang Hidup

إِذَا كَانَ الْمَرِيضُ تَحْتَ أَجْهِزَةِ الْإِنْعَاشِ، وَتَعَطَّلَتْ جَمِيعُ وَظَائِفِ دِمَاغِهِ تَعَطُّلًا نِهَائِيًّا، وَأَصْبَحَ تَنَفُّسُهُ آلِيًّا، وَنَبْضَاتُ قَلْبِهِ صِنَاعِيَّةً وَلَيْسَتْ حَقِيقِيَّةً؛ فَإِنَّهُ يَجُوزُ رَفْعُ أَجْهِزَةِ الْإِنْعَاشِ عَنْهُ، وَعَلَى ذَلِكَ فَتْوَى اللَّجْنَةِ الدَّائِمَةِ بِرِئَاسَةِ ابْنِ بَاز، وَبِهِ صَدَرَ قَرَارُ الْمَجْمَعِ الْفِقْهِيِّ الْإِسْلَامِيِّ

Jika pasien dipakaikan alat penunjang hidup,[12] dan semua fungsi otaknya berhenti secara permanen, serta pernapasannya menjadi otomatis, tetapi detak jantungnya buatan dan bukan asli; maka boleh mencabut alat penunjang hidup darinya. Ini adalah fatwa dari Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Ibnu Baz,[13] dan dengan itu dikeluarkan keputusan Majelis Fikih Islam.[14]

وَذَلِكَ لِلْآتِي:

Argumentasi:

أَنَّ بَقَاءَ الْأَجْهِزَةِ عَلَى الْمَرِيضِ لَا حَاجَةَ إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ أَصْبَحَتْ هِيَ الَّتِي تَعْمَلُ بِالْبَدَنِ

1 – Bahwa keberadaan perangkat pada pasien tidak diperlukan; karena alat ini yang bekerja pada tubuh.[15]

أَنَّ هَذِهِ الْآلَاتِ تُطِيلُ عَلَيْهِ مَا يُؤْلِمُهُ مِنْ حَالَةِ النَّزْعِ وَالِاحْتِضَارِ، وَهُوَ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ التَّعْذِيبِ، وَإِبْقَاؤُهُ مَا بَيْنَ الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ مِمَّا لَا يَتَّفِقُ وَكَرَامَةَ الْإِنْسَانِ

2 – Bahwa alat ini memperpanjang penderitaannya dalam keadaan sekarat, yang merupakan salah satu bentuk penyiksaan, dan mempertahankannya antara hidup dan mati tidak sesuai dengan martabat manusia.[16]

يُسَبِّبُ بَقَاءُ الْأَجْهِزَةِ عَلَى الْمَرِيضِ أَمَلًا لِأَقَارِبِهِ وَذَوِيهِ؛ فَتَجِدُهُمْ يَتَأَلَّمُونَ لِحَالِهِ، وَيَحْزَنُونَ لِمَا صَارَ إِلَيْهِ

3 – Keberadaan alat pada pasien menyebabkan harapan bagi kerabat dan keluarganya; sehingga mereka merasa sakit hati dengan kondisinya, dan bersedih atas apa yang terjadi padanya.[17]

أنَّ هذهِ الأَجْهِزَةَ، وَهَذِهِ الغُرْفَةُ المُجَهَّزَةُ؛ وَرَاءَهَا تَكالِيفُ باهِظَةٌ، وَلا طائِلَ تَحْتَهَا، فَتَجِدُ أنَّهَا لا تَكُونُ إِلَّا لِأُناسٍ مُحَدَّدِينَ، فَلَوْ أُتِيَ بِشَخْصٍ آخَرَ لِتُسْتَنْقَذَ حَيَاتُهُ، مَكانَ هَذَا الشَّخْصِ الَّذِي مَهْما طالَ بِهِ الزَّمَنُ فَإِنَّهُ لا فَائِدَةَ مِنْ بَقَاءِ هَذِهِ الأَجْهِزَةِ عَلَيْهِ- لَكانَ أَوْلَى.

5 – Bahwa alat ini, dan ruangan yang dilengkapi ini; di baliknya terdapat biaya yang sangat tinggi, dan tidak ada manfaatnya, sehingga hanya digunakan untuk orang-orang tertentu. Jika ada orang lain yang bisa diselamatkan hidupnya, menggantikan orang ini yang meskipun waktu berlalu tidak ada manfaat dari keberadaan perangkat ini padanya—maka itu lebih baik.[18]

BACA JUGA:  Fikih Dorar Saniyah: Jamak Salat – Arti, Sebab, dan Syarat

Demikian terjemahan dari Mausuatul Fiqhiyah Dorar Saniyah Kitab Salat > Bab Janaiz > Hukum Orang Sakit dan Sekarat > Hukum Orang Sekarat > Tanda Kematian, Mati Otak, dan Melepas Alat Penunjang Hidup. Semoga bermanfaat! Wallahua’lam

Karangasem, 25 November 2024

Irfan Nugroho (Semoga Allah memberkahi dirinya, keluarga, dan seluruh urusannya. Amin).

CATATAN KAKI

[1] Ringkasan yang disebutkan oleh para dokter tentang tanda-tanda kematian di antaranya; 1) berhentinya jantung dan sirkulasi darah, 2) berhentinya pernapasan dan tanda-tandanya, 3) berhentinya kontrol sistem saraf terhadap tubuh, di antaranya: relaksasi awal otot, pupil mata tidak responsif terhadap cahaya terang; 4) perubahan yang terjadi pada tubuh; di antaranya: hilangnya kilauan mata setelah kematian, pucatnya warna tubuh, dan dinginnya tubuh. Lihat: Ahkamul Mauti Ad-Dimagi dari Mausuatul Fiqh At-Tibi: 4/1646.

[2] Hasyiah Ibnu Abidin li Ibnu Abidin: 2/189, Syarah Mukhtasar Khalil li Al-Kharshi: 2/122, Al-Majmu’ li An-Nawawi: 5/125, Kasyaf Al-Qina’ li Al-Buhuti: 2/84.

[3] Ahkam Maut al-Dimagh dari Mausu’ah al-Fiqh al-Tibbiy: 4/1649.

[4] Kecuali jika pernapasan dan jantung berhenti sepenuhnya setelah perangkat penunjang hidup dicabut, dan kematiannya dipastikan tanpa keraguan. Dalam kondisi ini, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih dan dokter. Lihat: Mausu’ah al-Fiqh al-Tibbiy: 4/1651

[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz li Ibnu Baz: 13/366, 377.

[6] Dalam keputusan itu disebutkan: Majelis Fikih Islam, dalam sesi 10 yang diadakan di Mekkah dari hari Sabtu 24 Safar 1408 H yang bertepatan dengan 17 Oktober 1987 M hingga hari Rabu 28 Safar 1408 H yang bertepatan dengan 21 Oktober 1987 M… Majelis mencapai keputusan berikut: Alat penunjang hidup boleh dicabut dari pasien jika semua fungsi otaknya berhenti secara permanen dan jika tiga dokter spesialis ahli memutuskan bahwa kerusakan tersebut tidak dapat dipulihkan, meskipun jantung dan pernapasan masih berfungsi secara otomatis karena alat penunjang hidup yang masih terpasang. Namun, kondisi tersebut tidak dianggap mati secara syar’i kecuali apabila pernapasan dan jantung berhenti total setelah perangkat ini dicabut. Keputusan No: 49 (2/10) Taqrir Husul al-Wafah, wa Raf’ Ajhizat al-In’ash min Jism al-Insan.

BACA JUGA:  Fikih Dorar: Adab Menjenguk Orang Sakit

[7] Termasuk dalam keputusan Haiah Kibaril Ulama Kerajaan Arab Saudi: Dewan memutuskan bahwa tidak sah secara syar’i untuk menganggap seseorang mati, kematian yang mengakibatkan hukum-hukum syar’i, hanya berdasarkan laporan dokter bahwa dia mati otak, sampai diketahui bahwa dia mati tanpa keraguan; di mana jantung dan pernapasan berhenti sepenuhnya, dengan munculnya tanda-tanda lain yang menunjukkan kematiannya dengan pasti; karena pada dasarnya dia masih hidup dan tidak boleh dianggap mati kecuali dengan keyakinan, (Majalah Buhuts Islamiyah: 58/379).

[8] Majalah Buhuts Islamiyah: 58/379.

[9] Mausu’ah al-Fiqh al-Tibbiy: 4/1660.

[10] Idem

[11] Idem

[12] Dalam fatwa Komite Tetap disebutkan:
Pertama: Jika pasien tiba di rumah sakit dalam keadaan sudah meninggal; tidak perlu menggunakan perangkat penunjang hidup.
Kedua: Jika kondisi pasien tidak layak untuk penunjang hidup berdasarkan laporan tiga dokter spesialis terpercaya; tidak perlu juga menggunakan perangkat penunjang hidup.

Ketiga: Jika penyakit pasien tidak dapat disembuhkan dan kematian sudah pasti menurut kesaksian tiga dokter spesialis terpercaya; tidak perlu juga menggunakan perangkat penunjang hidup.

Keempat: Jika pasien dalam keadaan tidak berdaya, atau dalam keadaan lemah mental dengan penyakit kronis, atau kanker dalam tahap lanjut, atau penyakit jantung dan paru-paru kronis, dengan seringnya jantung dan paru-paru berhenti, dan tiga dokter spesialis terpercaya memutuskan demikian; tidak perlu menggunakan perangkat penunjang hidup.

Kelima: Jika terdapat bukti pada pasien bahwa otaknya mengalami kerusakan yang tidak dapat disembuhkan berdasarkan laporan tiga dokter spesialis terpercaya; tidak perlu juga menggunakan perangkat penunjang hidup karena tidak ada manfaatnya.

Keenam: Jika penunjang hidup untuk jantung dan paru-paru tidak efektif, dan tidak sesuai untuk kondisi tertentu menurut pendapat tiga dokter spesialis terpercaya; tidak perlu menggunakan perangkat penunjang hidup.

Pendapat keluarga pasien tidak dipertimbangkan dalam penggunaan atau pencabutan perangkat penunjang hidup karena itu bukan wewenang mereka. Fatawa al-Lajnah al-Daimah – al-Majmu’ah al-Ula: 25/80.

[13] Fatawa al-Lajnah al-Daimah – al-Majmu’ah al-Ula: 25/80.

[14] Qarar Raqm: 49 (2/10) Taqrir Husul al-Wafah, wa Raf’ Ajhizat al-In’ash min Jism al-Insan.

BACA JUGA:  Fikih Dorar: Hukum Merintih dan Berharap Mati

[15] Al-Sijil al-Ilmi li Mu’tamar al-Fiqh al-Islami al-Thani – Qadaya Tibbiyah Mu’asirah: 4/4041.

[16] Al-Sijil al-Ilmi li Mu’tamar al-Fiqh al-Islami al-Thani – Qadaya Tibbiyah Mu’asirah: 4/4041, Mausu’ah al-Fiqh al-Tibbiy – al-Ahkam al-Fiqhiyah al-Tibbiyah al-Muta’alliqat bi al-In’ash al-Istina’i al-Qalbi wa al-Ri’awi: 4/1714.

[17] Idem

[18] Idem

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button