Istijmar – Sunah Bersuci dengan Batu yang Berjumlah Ganjil
Pembaca yang semoga dirahmati Allah ta’ala, tahukah Anda bahwa orang islam boleh bersuci dari BAB dengan batu? Apa istilah untuk tindakan seperti itu? Apa dalilnya? Bagaimana penjelasan ulama tentang hal ini? Teruskan membaca!
Matan Hadis
Rasulullah ﷺbersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian berwudu, hendaknya dia memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkannya. Siapa saja yang bersuci dengan batu, hendaknya dengan bilangan yang ganjil. Jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaknya dia membasuh tangannya sebelum memasukkan tangannya ke bejana yang akan dipakai wudu, karena salah seorang dari kalian tidak tahu di mana tangannya menginap.”
Di dalam Sahih Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺbersabda:
“Jika salah seorang dari kalian bersuci dengan batu, hendaknya dia mengganjilkannya. Jika salah seorang dari kalian berwudu, hendaknya dia memasukkan air ke hidungnya kemudian mengeluarkannya.”
Takhrij Hadis
Narasi hadis pertama ini diambil dari Sahih Bukhari nomor 162. Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim nomor 237.
Judul Hadis
Imam Bukhari memberi judul hadis ini, “Bersuci menggunakan batu dengan jumlah yang ganjil.” Imam Muslim memberi judul hadis ini, “Ganjil dalam istintsar dan istijmar.” Syaikh Wahid Abdussalam Bali, di dalam Sahih Adab Al-Islamiyah, memasukkan hadis ini ke dalam bab, “Adab Buang Hajat” sub-bab, “Disukainya bersuci dengan batu yang berjumlah ganjil.”
Hikmah Hadis
1. Mendefinisikan istijmar, Imam Nawawi berkata, “Istijmar adalah bersuci setelah buang air kecil atau buang air besar dengan memakai batu kerikil,” (Syarah Nawawi Ala Muslim).
2. Bersuci setelah buang air besar atau kecil dapat dengan cara al-istithabah, al-istijmar, dan al-istinja. Istilah “al-istijmar” artinya bersuci hanya dengan memakai batu, sedang “al-istithabah dan al-istinja” bisa dengan memakai air atau batu, (Syarah Nawawi ala Muslim).
3. Tentang makna “witir”, Imam Nawawi rahiahullah berkata, “Witir adalah mengusap sebanyak tiga, lima, atau lebih yang merupakan bilangan ganjil. Menurut pendapat kami, mengusap lebih dari tiga adalah sunah. Intinya, membersihkan hukumnya wajib, begitu juga dengan menyempurnakan usapan sebanyak tiga kali. Jika dengan tiga usapan sudah bersih, tidak boleh menambahnya. Tetapi jika dengan tiga usapan belum bersih, harus ditambah menjadi lima atau tujuh dan seterusnya. Jika bersih dengan bilangan genap, dianjurkan untuk mengganjilkannya,” (Syarah Nawawi ala Muslim).
4. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Pada hadis ini terdapat keterangan tentang disukainya mencuci najis sebanyak tiga kali,” (Fathul Bari).
5. Beliau juga berkata, “Tempat keluarnya najis mendapat keringanan dalam kebolehan melakukan salat meski bekas najis di tempat keluarnya masih ada. Ini adalah pendapat al-Khaththabi,” (Fathul Bari).
6. Mana yang lebih afdal, istinja atau istijmar? Pertanyaan ini pernah disampaikan kepada Syaikh Abdullah Al-Faqih. Di dalam fatwanya nomor 288169 beliau berkata:
“Yang afdal bagi orang yang buang hajat adalah menggabungkan di dalam istinja-nya (upaya untuk bersuci setelah buang hajat) antara air dengan batu (termasuk ke dalam makna istijmar adalah dengan tisu atau yang semisal), karena hal itu lebih bisa mengantarkan kepada kebersihan. Jika dalam kondisi terbatas, dan harus memilih salah satunya, maka bersuci dengan air adalah lebih afdal.”
Beliau juga berkata:
“Istinja dengan air adalah lebih afdal, lebih utaa daripada istijmar dengan batu-batu, atau dengan tisu.”
Kemudian beliau mengutip pendapat Ibnu Abi Zaid, ulama mazhab Malikiyah, yang berkata di dalam kitanya Ar-Risalah:
“Air itu lebih suci, lebih bagus, dan lebih disukai oleh para ulama,” (Fatwa Asy-Syabakah Al-Islamiyah: 288169).
Sukoharjo, 4 Agustus 2021 (Sambil Menunggu Kelahiran Anak Ketiga)
Irfan Nugroho (Staf Pengajar Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)